Strict Liability atau yang bisa disebut "tanggung jawab mutlak" merupakan sebuah konsep perlindungan penuh terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan yang terjadi akibat dari kegiatan usaha atau aktivitas yang menimbulkan ancaman serius bagi lingkungan hidup tanpa perlu unsur pembuktian terhadap kesalahan.Â
Dalam hal ini tentu saja harus di waspadai oleh pelaku usaha dengan aspek lingkungan, dikarenakan koorporasi dapat dihukum mengganti rugi jika terbukti mengakibatkan kerusakan dan ancaman yang serius bagi lingkungan dan menimbulkan kerugian bagi penggugat.Â
Strict Liability dianggap sebagai benteng paling ampuh bagi lingkungan dikarenakan penggugat tidak dibebani rumitnya unsur kesalahan, cukup dengan adanya kausalitas antara kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan dari tergugat cukup menjadi modal untuk menhukum dan melaporkan tergugat. Hal imi telah dinilai oleh kalangan akademisi, aktivis lingkungan, dan Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dengan konsep ini maka yang kana bertanggung jawab jika terjadi kerusakan ialah pemilik lahan yang mana terindikasi dapat menyebabkan kerusakan atau pencemaran lingkungan, konsep ini telah dikenal di Indonesia sejak 1969 melalui Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1978. Lalu UU No. 4 Tahun 1982 tentag ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidupyang telah direvisi hinga yang saat ini berlaku UU No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.Â
Dalam isu terkait lingkungan tentu kita tidak asing denan kebakaran hutan hebat di Riau tahun 2015, saat itu kebarakaran hutan tersebut tercatat sebagai salah satu kasus terbesar dalam dua dekade terakhir. Ditemukan dari dugaan ini asap bersumber dari PT National Sago Prima(NSP). Oleh KLHK, PT NSP di gugat ke PN Jakarta selatan. Akan tetapi jngan lupa buat denda 1.04 Triliun.
Namun kita perlu tahu bahwa Strict Liability menjadi salah satu konflik kepentingan yang terjadi dalam penyusunan Undang-Undang Cipta Kerta, di dalam pasal Strict Liability hakim dapat menjatuhkan hukuman seperti membayar ganti rugi, biaya pemulihan hingga ke pemberhentian dari operasionl kepada pemilik konsesi lahan yang terbakar, tanpa harus membuktikan secara detail unsur kesalahan.Â
Dalam pasal Ciptaker, pasal Strict Liability benar-benar dilemahkan, pada UU Ciptaker merubah frasa dari "tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan" menjadi "dari usaha dan atau kegiatanyya" sebenarnya terlihat biasa saja. Namun jika kita melihat secara seksama dampaknya sangan mengkhawatirkan jika diterapkan, jelas bahwa koorporasi yang melanggar tidak lagi dapat dijerat dengan pasal Strict Liability dikarenakan tidak ada lagi dasar yang menghukum koorporasi tanpa membuktikan kesalahannya meskipun ada kausalitas antara kerugian yang ditimbulkan dengan perbuatan.