Yang terbaru ya kejadian beberapa hari lalu tentang Undang-undang Cipta Lapangan Kerja. Karena satu gerak saja, yakni mematikan mic, dia jadi bahan bullyan kiri kanan. Boro-boro mengunduh simpati, pengerahan pasukan di media sosial pun tak mampu membendung suara rakyat yang terlanjur emosi.Â
Dengan rentetan PR yang mesti diselesaikan itu, Puan mesti berjuang agar tingkat elektabilitasnya melambung minimal dua digit. Padahal untuk mendulang elektabilitas mencapai dua digit dalam 2 tahun bukan perkara mudah.Â
Sebagai gambaran, pada pilpres 2013 silam tiga bulan sebelum ditetapkan sebagai calon presiden, Joko Widodo mengantongi tingkat elektabilitas mencapai 34,7 persen. Padahal sekitar satu tahun sebelum Pilpres (Juli 2013) tingkat elektabilitas Jokowi hanya sekitar 20 persen. Sementara elektabilitas Megawati Soekarnoputri mencapai 13 persen.Â
Melihat dinamika tersebut, Megawati mesti mengubur ego dan mengutamakan kepentingan partai. Langkah menetapkan Joko Widodo itupun terbukti tepat karena PDIP setelah sekian periode terkungkung akhirnya keluar sebagai partai pemenang pemilu.Â
Berkaca dari realita itu, jika dalam dua tahun tersisa elektabilitas Puan mencapai minimal 20 persen, kemungkinan besar dia akan melenggang sebagai calon presiden. Sebaliknya, jika tidak mencapai 20 persen dan tetap berharap PDIP kembali jadi pemenang pemilu, lebih baik Puan memilih sebagai Ketua Umum PDIP. Dan menyerahkan rekomendasi pada tokoh dengan elektabilitas tertinggi, sebagaimana dialami Jokowi.Â
Tapi apapun itu, politik bukanlah hitung-hitungan matematika. Bukan pula hitung-hitungan dia trah siapa. Jika hanya mengandalkan emosi, kekuatan yang telah disusun sekian puluh tahun dalam sekejap akan terdegradasi.Â
Tabik!Â