Mohon tunggu...
Iqbal Caraka
Iqbal Caraka Mohon Tunggu... -

Belajar menulis dan mengkritik.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Mari Mandi dan Gosok Gigi

29 Oktober 2013   08:01 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:54 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan ini dan itu, bukan pula kotak atau bulat. Tapi hakiki tentang adanya bangsa yang katanya Pancasila, juga yang katanya percaya akan sejarah besarnya. Segala apapun yang namanya pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera harus tetap dilakuakan. Melihat nasionalisme, bung Karno dulu pernah berkata bahwa negara tidak boleh dikatakan sebuah negara apabila tidak ada perjuangan dari setiap insan di dalamnya. 68 tahun kemerdekaan bukan waktu yang lama untuk menjadi sebuah remaja yang labil dan sulit menentukan arah. Juga bukan waktu yang sebentar untuk mencari jati diri kebangsaannya dan berpegang teguh terhadap cita-cita proklamasi. Tapi, satu hal yang seharunya kita bahas hari ini dan kedepannya. Sebuah konsepsi untuk saling menguatkan dua kubunya kebangsaan, rakyat dan pemerintahannya, bawahan dan atasaannya. Hanya dari dua orang inilah kita mampu dilihat negeri di luar jendela, hanya keakraban dua orang inilah yang mampu saling bahu membahu untuk menjadikan negara menjadi yang sangat luar biasa.

Melihat dulu dalam masa awalnya Indonesia pernah menginjak masa pemerintahan berbentuk kerajaan. Dimana ada raja dan rakyat, dimana ada tukang mengatur ada juga tukang diatur. Bukankah seperti itu? Dan yang sangat ajaibnya sebagai pembeda dulu dan sekarangnya Indonesia adalah titah raja yang selalu di patuhi oleh rakyat terkecilnya dan jugaseorang raja yang sangat dihormati dan dipercayadari setiap tutur katanya yang halus dan sangat memuasakan kala memberi nasihat. Saat semua itu dilakuakan oleh sang raja kepentingan rakyatnya, untuk pembangunan setiap segi politik, ekonomi, dan sosial. Pada dasar itulah yang membuat rakyat mau bergerak memiliki rasa kecintaan yang tinggi, dengan sangat ikhlas mendalam mereka lakukan untuk menghormati sang raja.

Dapat dilihat bahwa mengayomi dan percaya merupakan kuncinya. Kunci dari segala kunci untuk bersama membangun tentang apa yang terbiasa kita minta sekarang dengan nama kesejahteraan, ketentraman, dan kenyamanan juga tentang stabilitas politik, ekonomi, dan sosial. Sampai-sampai terkadang ketika fungsi niat untuk mengayomi tidak terlaksana, otot luka tenggorokan kita meneriakannya dengan sangat kencang kepada para kaki-kaki yang berada di atas, kepda para penguasa yang hampir sama sebutannya sebagai raja tangan-tangan pengambil kebijaksanaan. Lalu untuk apa kita melakuakan semua itu kalau bukan terhadap 3 faktor yang tadi. Kesejahteraan, ketentraman, dan kenyamanan dalam berkendara dengan motornya kebangsaan dan kekeluargaan malalui nilai dasar gotong royong Pancasila yang telah di konsep oleh pendahulu pejuang proklamator.

Memang kita kadang terlalu hina sebagai rakyat yang memang jarang dianggap oleh para muka kurcaci yang sok alim di muka media dan beringas ketika mulai berbalik badan. Kalau boleh diuraikan, kata mengayomi, untuk sekarang ini maka sangat kompleks bagi mereka untuk mengerti dan melihat bahwa rakyatnya akan percaya dengan sangat ikhlas apabila mereka melakuakn hal itu. Inilah, ini yang menyebabakan namanya roda dan rantai tidak akan pernah serasi untuk berjalan, untuk bergerak, atau lebih sombongnya dikatakan untuk berlari. Terlalu hinakah bangsa ini ketika kedua kekasih ini saling berlawanan arah, rakyat dan atasannya? Kalau kita mau melihat bersama ke luar jendela sebentar maka merekalah para kaum bangsa adidaya yang akan tetap buncit dengan tawa muka lebar mereka. Sekali lagi konsepsi ini yang harus kita bicarakan kedepan. Mengayomi dan percaya.

Lalu permasalahannya adalah mengambil hati rakyat itu bukan perkara mudah, banyak seninya, banyak tekniknya. Ibarat jatuh cinta, merayu pasangan untuk menjadi mau mencintai kita adalah dengan kelembuatan, perhatian, dan melakukan kebaikan. Maka disanalah akan timbul rekasi timbal balik. Sama-sama positifnya, sama-sama saling menghargai. Setelah itulah maka yang namanya cinta dan kasih sayang akan timbul dan akan tetap berkembang dan memperlihatkan kemajuan-kemajuan yang bahkan sangat luar biasa di masa depan. Dalam setiap apapun permasalahan mereka berdua akan mampu duduk bersama, berdiskusi dan tanpa adanya cakar mencakar, juga tanpa adanya demonstrasi teriak otot. Meminta dengan keras layaknya pengemis yang dipotong harapan-harapannya. Ya, sekali lagi ini adalah akibat dari keharmonisan hubungan mereka. Reaksi timbal balik yang sama-sama positif.

Mari kita lihat kembali para kurcaci kaki-kaki yang berada di atas. Terkadang mereka dama perayu juga mereka terkadang puitis dan lemah lembut terhadap rakyat kaki di bawahannya. Tapi, sayang rakyat bukanlah orang bodoh bahkan orang ediot yang mudah leleh dengan kata puitis para penguasa mereka. Apa boleh dikata rakyat sekarang bukanlah orang buta yang tak tau rasanya apa untuk melihat bentuk dan warna mimik bicara para kurcaci yang bermuka 10. Kuracaci dasamuka, inilah yang terkadang lidahnya mampu berputar sangat licin yang memang tak selicin otak kecintaan mereka terhadap rakyatnya dan bangsanya.

Perut dan segala macam isinya terkait tentang kepuasan batin dan bahagianya yang merupakan faktor mendasar bagi penguasa yang tak mau mengeluarkan hati nurani mereka dalam pembangunan masyarakat. Pernah berkata dan diketahui, pertama, bahwa seorang penguasa itu harus kuat secara ekonominya, iman, dan mental. Kedua, landasan mereka, niat mereka, menjadi kurcaci adalah bukan untuk mengenyangkan perut, bukan pula untuk mencari nafkah bagi kerluarganya. Itu terlalu hina, niat yang terlalu menjijikan dan bodoh. Bahkan terkadang pendidikan ilmu niat harus dilatihkan kepada mereka, supaya tahu tujuannya adalah untuk membangun negaranya bukan dijadiakan sebagai profesi untuk mencari nafakah dan rezeki. Apabila 2 faktor ini terlewati maka mereka juga harus berkaca di tempat lain, yaitu mereka harus mampu bertanya di dalam pikir dan lubuk hatinya, besarkah otak-otak mereka, pintarkah ilmu dan pikir mereka, juga pula luaskah pengetahuan mereka tentang arti kebangsaan sesungguhnya, maka dari itu mereka akan telah sedikit pantas menjadi pengayom kaki di bawahnya untuk sebelumnya melakuakan praktek terjun langsung.

Dalam beberapa hal kita juga tidak seharunya terus memojokan pemerintah untuk selalu menuruti kemauan kita sebagai rakyat. Ada kalanya juga kita harus patuh kepada aturan. Contoh kecilnya adalah patuh terhadap lalu lintas bekendara. Dari sanalah yang dinamakan ketertiban akan terjaga. Selanjutanya apa yang kita tuntut dalam demonstrasi seperti biasanya harusnya bukanlah gelas kosong yang selayaknya untuk ditumpahkan. Membuat onar keamanan dan apalah, sehingga sangat mengganggu ketertiban umum. Lalu apakah ini etis dengan hasil yang kita teriakan? Tidak, sangat tak sebanding dengan apa yang selayaknya kita dengungkan. Kita harus banyak berkaca terebih dahulu sebagai rakyat, apakah benar tuntan ini pantas untuk digelontorkan di muka media? Patuh itu perlu, percaya itu juga merupakan tugas kita, karena dari sanalah akan tercipta Indonesia yang harmonis dan seimbang. Maka ada kalanya ketika kita harus percaya kepada pemerintah, juga kita ada kalanya menampikan rasa malu kita untuk mengejar hak yang seharusnya kita peroleh.

Selanjutnya adalah arti dari pemupukan jiwa nasionalisme. Banyak dari kita sebagai rakyat yang berbangsa sangat engggan bahkan tak mau berkorban banyak dan mati-matian untuk negaranya. Masihkah ingat terhadap semboyan Jhon F. Kenndy presiden pengganti Eisenhowe dari Amerika dalam pidatonya yang berkata, “Jangan tanyakan apa yang telah negaramu perbuat untukmu, tapi tanyakan apa yang telah kamu kerjakan untuk negaramu”. Seharusnya kita juga belajar banyak dari semboyan beliau tadi, seorang presiden Amerika yang kedekatannya sangat akrab dengan bung Karno. Kita seaharusnya terkadang melihat kondisi permasalahan bangsa dan ikut membantu menolong dengan contoh kecil adalah mematuhi perintah. Perjuangan dalam membangun bangsa adalah kewajiban bersama. Pembangunan mulai dari yang terkecil hingga yang terbesar.

Sekali lagi ibarat rantai dan roda yang berjalan berlawanan dan terus pemupukan peristiwa itu yang berlangsung mulai dari akhir kepenguasaan Orde Lama telah banyak membawa dampak buruk ke dalam kehidupan kebangsaan kita sekarang. Rasa ketidakpercayaan telah mengakar menjadi segala bentuk kerusakan moral bangsa ini. Pesimisme salah satunya menjadi akibat dari timbulnya peristiwa ketidakpercayaan, bahkan bung Karno dulu telah mewanti-wanti untuk jangan menjadi sebuah bangsa yang bermental tempe, yang harus menjadi bangsa yang mampu berdikari. Bahkan dulu dengan lantangnya suara-suara itu menggema di setiap kalbu para rakyatnya. Sehingga hal itulah yang menjadi motivasi terbesar rakyat untuk menjadi setiap insan yang nasionalis, menjadi setiap pribadi yang mampu mengerti permasalahan bangsanya dan tentu mereka mau membantu untuk kembali berjalan bersama. Tapi mana sekarang suara lantang itu? Menjadi Berdikari kah kita sekarang ini? Bahkan bermimpipun otak kemanusiaan kita tak berani. Ini yang seharusnya dilakukan oleh seorang penguasa terhadap rakyatnya, motivasi, kabar gembira, juga pemupukan rasa yakin optimis yang tentu saja akan melahirkan rasa nasionalisme yang utuh dan tidak setengah hati, nasionalisme yang dalam perjuangan perlarian menjadi yang lebih baik bukan perlarian yang menjadi buruk. Bahakan sebaliknya sekarang, media banyak diisi dengan berita yang sangat memekakan telinga yang mampu membakar setiap sumbu emosi. Fakta yang sangat terlihat kemarin adalah degradasinya tingkat kepuasan atas pemerintahan SBY-Boediono yang menurut banyak orang tak mampu merayu secara apik kepada rakyat kaki-kaki dibawahnya. Sehingga tingkat kepercayaan menurun dan berimbas ke setiap faktor kehidupan kebangsaan.

Dalam lagunya Iwan Fals yang berjudul “Bangunlah Putra Putri Pertiwi”dikatakan bahwa, jangan jadikan garuda menjadi burung perkutut, jangan jadikan sang saka jadi sandang pembalut, jangan jadikan Pancasila menjadi sebuah kode buntut yang hanya berisi khayalan dan bualan. Mari mandi dan gosok gigi, mari bersihkan bersama niat dan perilaku di diri ini. Menjadi seorang kekasih yang saling menyayangi, agar tercipta keharmonisan, agar tercipta reaksi timbal balik yang positif, juga yang mampu menjujukan kemajuan-kemajuan yang hebat di masa depan. Seorang pemerintahan dan seorang rakyat yang saling menyokong yang saling mengayomi dan percaya satu sama lain. Untuk menjadi negara yang paling kuat menjadi Berdikari seperti yang pernah di dengungkan dulu, juga yang berani berteriak lebih keras, yang berani tersenyum lebar juga di tengah penjajahan moral ekonomi bangsa luar jendela.

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun