Mohon tunggu...
Bhita Hervita Ardyaningtyas
Bhita Hervita Ardyaningtyas Mohon Tunggu... Wiraswasta

Pecinta dunia literasi, seni, budaya dan jelajah. Berharap setiap tulisan bisa jadi ruang berbagi perspektif dan pengalaman.

Selanjutnya

Tutup

Foodie

Slow Bar Jogja: Ritual Ngopag yang Bertransformasi menjadi Wisata Rasa

25 September 2025   22:43 Diperbarui: 4 Oktober 2025   22:09 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Fenomena slow bar tengah meramaikan Jogja, dari ritual sederhana menikmati secangkir kopi pagi alias ngopi pagi (akrab disebut ngopag), kini menjadi destinasi wisata yang diburu penikmat rasa. 

Kalau dulu Jogja lebih identik dengan angkringan malam hari, belakangan ini justru tren ngopi pagi justru semakin ramai. Ngopag alias ngopi pagi kini bergeser dari sekedar ritual yang digemari pecinta kopi lokal menjadi gaya hidup, dan bahkan menjelma menjadi tren wisata rasa. Tren ini dipicu oleh menjamurnya slow bar di Jogja. Slow bar sendiri pada dasarnya adalah konsep kedai kopi yang lebih intim, sederhana, dan personal. Beda dengan kafe pada umumnya yang identik dengan ruangan luas dan nuansa ramai, slow bar biasanya berukuran kecil dengan kursi terbatas, bahkan terkadang hanya ada meja bar di depan mesin kopi. Konsepnya menekankan interaksi langsung antara barista dan penikmat kopi, seakan mendorong keduanya untuk ngobrol, berbagi cerita, atau sekadar menikmati kopi tanpa distraksi gadget maupun hingar-bingar suasana.

Selama seminggu di Jogja, saya mengamati fenomena ini dengan cukup takjub. Kebanyakan slow bar ini berjalan bertolak belakang dengan tren kafe kekinian. Kalau kafe identik dengan promosi  jor-joran di media sosial, mengandalkan UGC untuk membangun kepercayaan konsumen, slow bar di Jogja justru punya jalannya sendiri. Mereka tampil low profile dan cenderung 'underground' di dunia maya. Ada pula yang sampai melarang pengunjung mengambil foto di dalam, demi menjaga kenyamanan menikmati kopi dan suasananya. Unik, bukan? Di era ketika hampir semua usaha bergantung pada UGC, slow bar Jogja justru menempuh arah sebaliknya.

Bahkan ada satu slow bar di Jogja yang hanya menerima kedatangan lewat reservasi. Itu pun reservasi cuma bisa dilakukan lewat laman web mereka, dan biasanya sudah penuh hingga tiga bulan kedepan. Wah, mau ngopi di sini seperti rebutan tiket konser, batin saya.

Jam buka pun seringkali tak saklek. Ada yang baru mengumumkan jam operasional sehari sebelumnya, membuat para penikmat kopi setia menunggu update: “besok jam berapa buka?", disini terselip sensasi eksklusif dan sekaligus membuat penasaran calon pengunjungnya. Uniknya lagi, beberapa hanya buka setengah hari, disaat banyak kafe berlomba-lomba tutup paling larut. 


Soal tempat, jangan bayangkan area luas untuk WFC (work from café). Banyak slow bar justru ada di ruang kecil dengan kursi terbatas, memberi kesan intim dan personal. Orang datang, ngopi, ngobrol sebentar, lalu pulang. Walau ada juga yang sudah menyatu dengan konsep kafe, tapi biasanya tetap mempertahankan esensi kesederhanaan itu. Satu kesamaan yang hampir selalu saya temui: barista-nya (kadang sekaligus sang empunya) ramah, terbuka, dan ahli. Obrolan dengan mereka bukan sekedar basa-basi, tapi percakapan hangat soal kopi. Tentang biji, metode seduh, hingga cerita di balik cangkir yang kita pegang.

Di suatu slow bar di utara Jogja, saya sempat berjumpa dengan seorang penikmat kopi asal Jakarta. Ia bercerita bahwa dirinya sengaja mengambil cuti dua minggu penuh hanya untuk menetap di Jogja dan menjelajahi berbagai slow bar yang ada. Dedikasi yang luar biasa, bukan? Seakan ngopi di Jogja memang pantas jadi agenda liburan tersendiri. Dari obrolan itulah kemudian saya bertanya-tanya: jangan-jangan slow bar memang sudah menjelma jadi tren wisata baru di Jogja. Rasa penasaran ini akhirnya mendorong saya menjelajah berbagai sudut kota Jogja untuk merasakan pengalaman ngopi di slow bar. Berikut beberapa tempat yang sempat saya kunjungi, yang barangkali bisa menjadi rekomendasi 'wisata rasa' ngopi pagi di Jogja bagi kamu. 

Pitutur Coffee Roasters -Espresso & Filter Coffee Bar
terletak di daerah Sariharjo, Yogyakarta. Pitutur sangat menjaga proses seduhan sesuai resep kalibrasi mereka. Jam buka toko di-update tiap hari di laman instagram mereka, sebelum berkunjung baiknya cek dulu jam buka untuk esok hari.

Tadasih
terletak di daerah Kraton, Yogyakarta. Sebelum berkunjung ke sini, kamu perlu melakukan reservasi terlebih dahulu melalui website resmi mereka. Reservasi jauh-jauh hari sangat direkomendasikan.

Mandala Roastery
terletak di daerah Kraton, Yogyakarta. Kopi filternya patut dicoba. Area indoor cukup terbatas, namun area outdoor cukup untuk menjadi tempat bersantai sembari menikmati kopi.

In.Migunani
terletak di daerah Pakualaman, Yogyakarta. Lokasinya di gang kecil sehingga tidak terdapat parkir roda empat. Hanya Menyajikan Minuman Berbasis Espresso. Pengalaman ngopi di gang yang cukup unik. 

To Be Honest (TBH) Coffee Roaster
terletak di daerah Ngemplak, Sleman, Yogyakarta. Lokasinya ada di rumah pemiliknya, dan mereka menerapkan kebijakan tidak boleh mengambil foto di dalam toko/rumah. 

Arkana Roastery
terletak di daerah Banguntapan, Bantul, Yogyakarta. Berada di area permukiman dengan area kebun sebagai bagian dari ambience-nya. Jam buka dari jam 07.00-12.00. Area parkir mobil cukup luas di belakang toko. 

Wombats Coffee
terletak di daerah Wijilan, Yogyakarta. Tempat ini cukup hits di kalangan pecinta kopi, karena didirikan oleh Bapak Magic Indonesia, @efenerr yang mengenalkan Magic Coffee, minuman kopi yang berasal dari Melbourne, Australia ke Indonesia.

Hayati Coffee Roaster
terletak di daerah Demangan Baru, Yogyakarta. Mereka dikenal dengan koleksi biji kopi yang sangat beragam dan berkualitas. Menu cukup variatif, dan suasana tempat lebih menyerupai kafe, cocok untuk nongkrong atau bekerja. 

Back on 13
terletak di daerah Notoyudan, Yogyakarta. Didirikan oleh sepasang suami istri pecinta kopi, mengusung konsep kedai kopi ala rumah di lingkungan Pendopo Ndalem. Semua kopi menggunakan biji arabika, sesuai dengan selera pemiliknya.

Jogja memang nggak pernah habis soal jelajah rasa dan pengalaman. Buat kamu yang suka ngopi, slow bar bisa jadi cara baru menikmati Jogja: lebih pelan, lebih intim, dan tentu saja, lebih dekat dengan rasa kopi itu sendiri. Mungkin sebentar lagi jargon Jogja bukan cuma soal rindu, pulang, dan angkringan—tapi juga rindu, pulang, ngopi, dan angkringan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Foodie Selengkapnya
Lihat Foodie Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun