Mohon tunggu...
Bhayu MH
Bhayu MH Mohon Tunggu... Wiraswasta - WIrausaha - Pelatih/Pengajar (Trainer) - Konsultan MSDM/ Media/Branding/Marketing - Penulis - Aktivis

Rakyat biasa pecinta Indonesia. \r\n\r\nUsahawan (Entrepreneur), LifeCoach, Trainer & Consultant. \r\n\r\nWebsite: http://bhayumahendra.com\r\n\r\nFanPage: http://facebook.com/BhayuMahendraH

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Curahan Kegelisahan Mantan Wartawan

23 Februari 2024   11:55 Diperbarui: 23 Februari 2024   11:59 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Unconference Ruang 6. (Foto: Bhayu M.H.)

Tulisan ini merupakan tambahan dari dua tulisan saya terdahulu. Tulisan pertama berjudul "Laporan Pandangan Mata dari Konvensi Media Nasional Hari Pers Nasional 2024" (klik di sini untuk membaca). Tulisan kedua berjudul "Pers Harus Adaptif" (klik ini untuk membaca). Jadi, dalam acara "Konvensi Media Nasional" yang berlangsung hari Senin, 19 Februari 2024 lalu terdiri dari dua sesi. Sesi pertama pada pagi hingga siang hari berupa "Conference" yang merupakan seminar bertema jurnalisme. Sementara sesi kedua berlangsung pada siang hingga sore hari setelah istirahat makan siang, berupa "Focus Group Discussion". Peserta dipersilakan memilih salah satu grup dari 6 yang topik yang disediakan panitia. Saya memilih topik keenam: "Harapan Pers Terhadap Kepemimpinan Nasional". Sebagai narasumber kunci tampil Wakil Ketua Dewan Pers, M. Agung Dharmajaya. Sedangkan sebagai pemandu adalah Haryo Ristamaji, yang sehari-hari merupakan Pemimpin Redaksi/Direktur Radio Elshinta dan juga mewakili Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Peserta diskusi di grup saya sangat sedikit, hanya 6 orang saja. Padahal, total peserta acara di pagi harinya sekitar 500 orang. Saya tidak berjalan-jalan memantau di grup lain, karena fokus pada pembahasan di grup tempat saya berada saja. Jadi, saya tidak tahu kondisi peserta di kelas atau grup lain.

Bagi saya pribadi, diskusi berlangsung agak mengecewakan. Karena para peserta cenderung "curhat" masalah masing-masing. Sayangnya, hal itu lazim terjadi dalam acara serupa di Indonesia. Sehingga, pembahasan yang seharusnya bertopik "makro" dalam tataran negara, berubah menjadi "mikro" karena kasuistis sesuai kepentingan masing-masing peserta. Saya yang mencoba mengangkat isyu "makro", ternyata dimentahkan dengan gaya birokrat oleh narasumber kunci. Padahal, semestinya sebagai anggota suatu badan negara dan bukan badan pemerintah, ia bisa lebih elaboratif, kontemplatif, dan netral.

Maka, dalam tulisan ini, saya kembali menuliskan lebih lengkap mengenai apa yang saya utarakan di sana. Karena saat bicara, saya sudah hampir dipotong oleh pemandu. Waktu sekitar 5 menit bicara dianggap terlalu panjang rupanya. Karena saya tidak merekam baik menggunakan video maupun suara, maka tulisan ini berdasarkan ingatan belaka. Catatan di notes hanya berupa garis besar saja. Tulisan ini jelas lebih lengkap daripada ucapan saya dalam forum. Karena bisa dilengkapi fakta dan data tambahan yang sulit diungkapkan secara lisan. Ini adalah "disclaimer", demikian pula pernyataan berikutnya.

Dan perlu digarisbawahi, disebabkan saat ini status profesi saya bukan wartawan aktif, maka saya menganggap diri saya adalah "mantan wartawan". Walau di masa depan, insya Allah saya sedang berupaya merintis pendirian media massa daring baru. Saya menjadi peserta sebagai Ketua Umum (Ketum) sebuah Badan Hukum Perkumpulan (BHP) yang bergerak di bidang publikasi dan edukasi di dunia maya. Maka, jadilah tulisan ini diberi judul: "Curahan Kegelisahan Mantan Wartawan". Dalam tulisan ini, saya menggunakan terminologi "pewarta" sebagai ganti "wartawan" atau "jurnalis". Berlaku secara umum bagi semua jenis media massa, baik cetak, radio, televisi, maupun daring. Tidak ada alasan tertentu, semata hanya pilihan pribadi saja.

Minimnya Penghargaan Kepada Pewarta

Para peserta lain di grup yang saya ikuti sebagian berasal dari luar Jakarta. Bahkan dari tempat yang jauh seperti Sulawesi Utara. Alih-alih menyuarakan aspirasi sesuai tema, malah "curhat" soal kondisi masing-masing. Di sini, kegelisahan terutama adalah karena minimnya penghargaan untuk pewarta. Konteksnya tentu penghargaan kesejahteraan. Pewarta sulit mendapatkan penghasilan memadai, sementara media massa tempatnya bekerja juga masih berjuang mencapai "Break Event Point (BEP)" atau "Return of Investment (RoI)".

Maraknya media sosial juga mengancam media massa daring (dalam jaringan = online) secara langsung. Karena tingkat kunjungan ke situs mereka jadi jauh berkurang. Jumlah pemirsa muatan (content) dari media sosial berbagi video atau gambar, malah seringkali jauh lebih tinggi daripada tingkat keterbacaan berita di media daring.

Saat ini, media massa yang mampu menerbitkan media cetak hanyalah yang terkategori konglomerasi atau kelompok usaha besar. Di tingkat nasional, ada Kompas, Media Indonesia, Tempo, MNC Media, dan Jawa Pos. Demikian pula radio atau televisi, selain yang dimiliki pemerintah yaitu TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik (LPP), lainnya adalah swasta dengan modal kuat di tingkat nasional. Di daerah memang kini bermunculan televisi baru sejak diberlakukannya siaran nasional digital, namun selain di grup saya tampaknya tidak ada yang bekerja atau memilikinya, saya juga kurang data soal itu.

Pengalaman saya pribadi, terakhir menjadi kolumnis di sebuah media daring pada 2015-2017, saya sama sekali tidak menerima bayaran satu sen pun. Bahkan liputan saya tentang pelantikan seorang Kapolres yang saya hadiri langsung, tidak dimuat sama sekali. Karena Pemimpin Redaksi sekaligus pemiliknya menganggap saya menerima bayaran dan tentunya ia meminta bagian. Untuk mendapatkan kartu pers dan kartu nama, malah saya harus membayar. Ujungnya, tiba-tiba saya dipecat tanpa pernah melakukan kesalahan apa pun dan tidak ada komunikasi apa pun. Nama saya tiba-tiba hilang dari boks redaksi dan tulisan kolom saya dihapus. Begitu saja. Tindakan tidak profesional semacam ini banyak sekali terjadi di lapangan. Menunjukkan bahwa dari media massa sendiri sudah minim penghargaan kepada pewarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun