Sunyi Seorang Pradjurit: Kisah tentang Kehilangan, Keberanian, dan Kehampaan
Hidup adalah luka yang tak pernah sembuh, dan manusia, sekadar makhluk yang menggenggam sunyi dengan tangan berdarah.
Aku membayangkan Andrey Sokolov bukan sekadar tokoh rekaan Sholokhov, melainkan seorang manusia nyata yang pernah hidup dan bernapas di tengah reruntuhan dunia. Ia bisa saja seorang tetanggamu yang dahulu tertawa di sore hari, atau barangkali seorang ayah yang hilang dalam lembaran sejarah, ditelan mesin perang dan ditinggalkan oleh peradaban yang selalu memuja kemenangan tapi menolak mengingat luka. Seperti kisah-kisah dari Digul, atau mereka yang lenyap di Pulau Buru, ia adalah suara dari bisu yang paling dalam.
Dalam kisah Fate of a Man (1956), Mikhail Sholokhov menuturkan hidup seorang manusia yang digerus oleh sejarah---Andrey Sokolov, seorang sopir truk yang dipanggil perang dan kembali sebagai arwah yang berkeliaran dalam tubuh sendiri. Ia bukan pahlawan dalam pengertian yang agung. Ia hanya manusia biasa, digiring ke palung penderitaan tanpa pernah meminta, tanpa pernah mengerti mengapa dunia harus begini kejamnya.
"Anakku terbaring di peti mati, dan aku merasa bahwa air mataku telah mengering di dalam hatiku."
Kutipan itu seperti suara yang datang dari ruang paling sunyi dalam hati manusia. Suara yang tahu, bahwa segala pengorbanan tidak mengubah kenyataan: istri dan anak-anaknya lenyap, dibunuh oleh perang yang katanya demi kemajuan dan pembebasan. Tapi apa yang dibebaskan? Hanya kepedihan yang menjadi warisan, dan kehampaan yang tinggal abadi.
Seperti tokoh-tokoh dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Sokolov tidak mengeluh. Ia tidak pernah mengutuk Tuhan atau takdir. Ia hanya diam, berjalan, dan menanggung semua itu dalam senyap. Ia menjadi saksi bahwa manusia, sejatinya, tidak diatur oleh akal atau kebajikan, melainkan oleh kekuatan-kekuatan tak terlihat yang menertawakan penderitaan mereka.
Nihilisme dan Keberanian yang Tak Disadari
Dalam sosok Sokolov, nihilisme bukan sekadar filsafat, melainkan kenyataan yang berdenyut dalam darah. Ia kehilangan segala yang menjadikannya manusia---keluarga, rumah, tanah, dan sejarah. Dunia tidak lagi memiliki makna. Ia hidup, bukan karena ingin hidup, tetapi karena mati pun tidak lagi punya alasan. Inilah nihilisme yang paling sunyi---bukan pemberontakan, bukan kehancuran yang gaduh---melainkan penerimaan yang perlahan dan dingin, seperti salju yang jatuh di ladang kosong.
Namun di balik kehampaan itu, justru lahir keberanian. Keberanian yang tidak meledak, tapi membeku dalam sikap. Seperti ketika ia menolak untuk minum bersama perwira Nazi:
"Aku berkata: 'Terima kasih atas jamuan Anda, tapi saya tidak minum.'"