Mohon tunggu...
Bambang Gareng Nilwarto
Bambang Gareng Nilwarto Mohon Tunggu... Bidang kesehatan -

Perantau di negeri dingin dengan one way ticket. Selalu merindukan nasi pecel, rempeyek dan tempe goreng. Tidak terverifikasi! Bawel, ngèyèlan, sok tahu, sok pinter.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ginjal Muslim untuk Anak Yahudi: Haram? Halal? Atau hanya Kebesaran Jiwa Seorang Ayah?

19 Juli 2015   14:41 Diperbarui: 19 Juli 2015   15:11 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini lagi sebuah tulisan saya di blog ini, yang ingin saya persembahkan kepada rekan-rekan di sini. Tulisan ini sudah saya tayangkan 8 tahun yang lalu. Tetapi, menurut saya, tetap aktual.

Juga, tulisan ini saya ubah sedikit tanpa mengubah isinya secara esensiil.

Menurut pendapat saya, tulisan ini masih aktual mengingat kebencian dan kemarahan yang saat ini masih membara dalam banyak jiwa di tanah-air ini.

"Agama seharusnya dijadikan landasan untuk mencintai, bukan dijadikan alasan untuk membenci."

Menjelang hari raya Idul Fitri 2006. Seorang anak laki-laki berusia 11 tahun bermain perang-perangan dengan teman-temannya. Sambil tertawa-tawa dan menenteng senapan mainan, ia berlari melintasi sebuah jalan yang dipagari rumah-rumah yang sebagian sudah runtuh dan sebagian lagi masih dihuni.Tiba-tiba terdengar dua tembakan, dan anak itu, Ahmed al-Chatib, tersungkur dan tergeletak di tengah jalan tanpa bergerak. Darah membasahi aspal di sekelilingnya.

Di rumah sakit para dokter menyatakan, bahwa otak Ahmed telah kehilangan fungsi, biarpun organ-organnya masih berfungsi. Separuh wajahnya yang masih muda dan penuh mengandung harapan telah tercabik oleh salah satu tembakan tersebut dan peluru yang kedua mengenai perut bagian bawahnya dan mengakibatkan pendarahan yang tak bisa dihentikan. Brain dead. Vonis yang mutlak.

Sang ayah, dengan wajah yang gelap karena kesedihan, bertanya kepada dokter yang mengurus Ahmed:” Jadi, tidak ada harapan lagi?”

Dokter itu dengan mata memancarkan rasa kasihan dan juga kesedihan yang mendalam menjawab: “Tidak, otaknya sudah mati. Cuma pertanyaan waktu saja, sampai organ-organnya yang lain berhenti berfungsi dan semuanya akan berakhir.”

Al-Chatib merenung beberapa detik dan mengangkat wajahnya memandand dokter itu. Sambil mengusap setetes air mata yang membasahi ujung matanya, dia bertanya lagi:” Apakah organ-organ anak saya bisa menyelamatkan jiwa orang lain?”

Pertanyaan yang tak terduga ini menyentuh hati dokter tersebut yang hanya bisa menjawab dengan terbata-bat:” Ya. “, dan setelah mengerskan hati dokter itu bertanya lagi: “Apakah anda mempunyai syarat mengenai penerima organ anak anda?”

“Hanya satu: jangan diberikan ke pada tentara Israel. Berapa waktu yang masih ada sampai saya memutuskannya betul-betul?”

Dalam waktu dua belas jam yang tersisa, Al-Chatib memeperoleh tentangan dan persetujuan. Imam dari kota tempat tinggalnya menghubungi Imam Agung Jerusalem, yang selanjutnya melanjutkan persoalan ini sampai ke Universitas Al Azhar di Kairo. Jawaban yang diterimanya: boleh, hal ini tidak melanggar hukum Qur’an. Sebagai langkah terakhir Al-Chatib meminta persetujuan Zakaria Subeidi, pemimpin Barisan martir militan Aksa di kota itu, yang mengatakan:” Perjuangan kita bukan melawan rakyat Yahudi, tetapi melawan penjajah!”, katanya. “Penyumbangan organ ini juga merupakan bagian dari perjuangan kita. Ini berarti kita akan mengurangi jumlah lawan kita, karena mereka yang mempunyai organ arab di tubuhnya tidak akan membunuh orang arab lagi.”

Yang menerima organ-organ Ahmed:

Jantung: seorang gadis muslimah berusia 13 tahun.

Paru-paru: seorang teenager dari Jerusalem.

Hati (liver): dibagi dua dan masing-masing bagian ditransplantasikan ke tubuh dua orang Yahudi.

Ginjal: diberikan ke pada seorang anak Beduin berumur 5 tahun dan ke pada putri sebuah keluarga Yahudi ortodoks yang berusia 3 tahun.

Enam anak manusia yang akan berakhir hidupnya tanpa transplantasi dan sekarang memperoleh harapan lagi karena hadiah dari Ahmed dan keluarganya.

“Saya kehilangan Ahmed, tetapi saya kini memperoleh enam anak baru.” Enam anak baru yang masing-masing mengandung bagian dari Ahmed.

Dua dari penerima organ itu akhirnya meninggal.

Ibu dan ayah dari gadis Yahudi 3 tahun yang menerima ginjal Ahmed itu menyatakan, bahwa mereka sebetulnya lebih senang, jika ginjal itu ginjal Yahudi. Atas pernyataan itu mereka menerima makian dan kutukan dari masyarakat luas dan bahkan dari banyak orang Yahudi sendiri. Akhirnya mereka menyatakan terima-kasih mereka kepada keluarga Ahmed, tetapi tetap tidak mau berhubungan dengan mereka.

Ismail Al-Chatib, ayah Ahmed, mengusap batu nisan puteranya dengan lembut. Ia tahu, bahwa Tuhan tahu.
(Dikutip dari majalah mingguan Spiegel yang terbit di Jerman).

Lalu, apa maksud saya mengutip berita itu? Tidak macam-macam. Hati saya tersentuh oleh kebesaran jiwa sang ayah, yang rela meng”hadiah”kan organ puteranya tanpa memandang agama atau ras. Dan saya akan berusaha belajar dari Al-Chatib dan mencontoh kebesaran hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun