Setiap orang punya tantangan dalam hidupnya. Kadang, tantangan itu datang dari luar lingkungan, orang-orang, atau situasi yang sulit.Â
Tapi jujur saja, dalam perjalanan pribadiku, justru tantangan paling berat datang dari dalam diriku sendiri pikiran, perasaan, dan keraguan yang tak terlihat tapi begitu nyata. Aku menyadari bahwa musuh terbesarku adalah diriku sendiri.
Semua ini terjadi ketika aku mencoba menulis artikel di Kompasiana. Awalnya, niatku hanya sederhana ingin berbagi pandangan, mencoba sesuatu yang baru, dan menantang diri sendiri.Â
Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Saat ingin mulai menulis, aku dihantui rasa tidak percaya diri. Ada suara di dalam kepala yang berkata, tulisanku nggak akan sebagus orang lain, atau siapa yang akan membaca tulisan mahasiswa biasa seperti aku?
Padahal, ide sudah ada. Topiknya jelas. Bahkan, aku punya pengalaman pribadi yang bisa kutuangkan. Tapi tangan ini seperti berat untuk mengetik.Â
Aku menunda-nunda. Bukan karena sibuk, tapi karena takut. Takut dianggap tidak layak, takut tulisan itu hanya akan lewat tanpa dibaca, dan yang paling dalam takut kecewa pada diri sendiri kalau gagal.
Hari-hari berlalu, dan aku masih bergulat dengan rasa ragu itu. Di satu sisi, aku ingin berkembang. Aku ingin artikelku dikenal. Tapi di sisi lain, aku sendiri yang menahan langkahku.Â
Aku mulai sadar, selama ini yang menghambatku bukan kurangnya kemampuan, tapi karena aku terlalu banyak menghakimi diri sendiri.
Lalu aku ambil waktu untuk merenung dan berdamai dengan diri sendiri. Aku berkata dalam hati, kalau terus menunggu sempurna, aku tidak akan pernah mulai.Â
Lebih baik aku berproses dengan apa yang ada. Dan dari sana, aku mulai menulis. Kalimat demi kalimat kutulis dengan jujur, tanpa banyak tekanan. Aku tidak fokus pada kesempurnaan, tapi pada ketulusan.