Di awal-awal masa sekolah atau kuliah, banyak dari kita menganggap belajar adalah sebuah kewajiban. Kita hadir di kelas karena harus. Kita mengerjakan tugas karena takut nilai jelek. Kita membaca buku karena ujian sudah di depan mata. Akademis terasa seperti beban yang menghimpit, bukan ruang yang membebaskan.Â
Tapi pernahkah kamu berpikir, bahwa suatu hari nanti, kamu justru akan bangga pernah melalui semua itu?
Dari Terpaksa ke Terbiasa
Perjalanan mencintai dunia akademis bukanlah proses instan. Hampir semua orang memulainya dengan rasa terpaksa. Namun, dari keterpaksaan itu, lahirlah kebiasaan. Kita mulai terbiasa bangun pagi demi kuliah, terbiasa membaca catatan meski mata mengantuk, dan terbiasa menyelesaikan makalah menjelang tenggat waktu. Saat kebiasaan itu terbentuk, kita mulai menyadari bahwa belajar bukan hanya tentang menyerap teori, tapi tentang melatih kedisiplinan, tanggung jawab, dan daya tahan mental.
Dulu aku sering mengeluh soal tugas dosen. Tapi sekarang, saat melihat diriku bisa menyelesaikannya tepat waktu, aku merasa ada kepuasan tersendiri. Ternyata aku bisa! pengakuan seorang mahasiswa semester empat.
Menemukan Makna di Balik Angka
Selama ini kita mungkin terlalu terpaku pada angka: nilai ujian, IPK, ranking, akreditasi. Tak salah, karena sistem pendidikan memang banyak berputar di sekitar itu. Tapi akademis sejatinya lebih luas dari sekadar nilai. Ia adalah proses menempa cara berpikir, belajar mencari kebenaran, mengasah logika, dan mengembangkan empati.
Saat kita mulai melihat pelajaran bukan sebagai kumpulan hafalan, tapi sebagai alat untuk memahami hidup, maka kita sedang melangkah ke tahap mencintai akademis secara utuh.Â
Ketika seorang mahasiswa teologi mempelajari sejarah gereja bukan hanya untuk ujian, tetapi untuk memahami pergumulan iman zaman dulu, di situlah ilmu menemukan ruhnya.
Akademis sebagai Cermin Diri