Mohon tunggu...
Betarix polenaran
Betarix polenaran Mohon Tunggu... Buruh - Penulis dan Pencinta Sastra

Penulis lahir di Watobuku, 20 Juni 1995

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Requem Sang Wanita

14 Februari 2019   09:03 Diperbarui: 14 Februari 2019   09:13 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

   REQUEM  SANG WANITA

Oleh Betrix Aran

Pada malam menjelang kematiannya, ada segerombolan pemuda dengan bara api di tangan, menghampiri, berdiri persis di samping kepalanya. Mata wanita itu berbinar-binar. Sesekali sayup pada tebalnya asap dari bara api itu.Lidahnya kelu. Tangan dari seorang pria yang berdiri, menunjuk-nunjuk keatas, lalu kebawah, tanpa berhenti pada sebuah sasaran. "Wanita...oh wanita" , mulut lelaki itu seperti sedang kehujanan air ludah. Otak wanita itu mendadak panas. Humor dan sebuah keseriusan gaya oxwel, semakin nampak dalam politik teka-teki. Lelaki orde baru menindas manusia. Detik kematiannya  yang bungkam pun menjadi teka-teki. Semuanya terdiam.  " Pemuda, kalian?". sebuah reformasi di ranjang kematian, menuai tanda tanya.

***

"Mama...mama", teriak Rudy dari balik jendela. Watak anak kecil itu tidak ada bedanya dengan watak mendiang ibunya, yang meninggal akibat kanker payudara. Aku turut prihatin. Pernah, di padang yang luas, tanpa air, hanya ada aku dan Rudy. Kami saling berkisah tentang tanah yang tandus ibarat kehidupan yang gersang. Ia menangis. Dari bibir mungilnya, bertutur " bagi plato, politik  mengatur tentang cara hidup bersama yang teratur sebagai makhluk". Apa gunanya hidup itu dipolitisasi?", kami berdua tiba-tiba terlibat dalam seloroh yang panjang dan menggelikan. "Yang kecil, yang berpolitik", sambil memegang pundak Rudy dan mengajaknya pergi. Wanita itu menjadi geram. Setiap panggilan disertai dengan caci-maki yang tidak sedap.  Baginya, Rudy adalah buah dari pendidikan karakter yang diajarkannya selama ini. Karakter yang bertumbuh mengikuti pola zaman, adalah racun yang mematikan bukan madu manisan, saat anak kecil itu mengeluarkan suaranya. Saat malam tiba, di ranjang, dongeng demi dongeng dituturkannya kepada anak kecil itu. Suatu kali, saat aku menginap di rumahnya. Pada dongeng yang kelima, ada alur yang menurut aku, sarat dengan makna kehidupan. Seorang lelaki bertubuh kekar, berjakun, berkumis tebal, melintasi pegunungan Himalaya. Tiap tapak demi tapak kakinya dihitung, begitu pula tiap hembusan nafasnya, dinikmati pelan. Rudi semakin terbuai. "Terus, apa yang akan dilakukan lelaki itu selanjutnya, Ma", Rudi ngotot. Lelaki itu bertemu dengan seorang putri yang cantik nan jelita, tapi sayangnya Putri itu tidak memiliki biji mata secara utuh.

Biji mata sang putri dicungkil di istana ratu untuk dijadikan permata kerajaan. Aku tersenyum kagum, bukan kepada sang putri atau pun kepada lelaki, tetapi kepada wanita itu yang dengan beraninya menceritakan sesuatu yang tidak pernah terjadi dalam dunia nyata. Lalu, putri dibuang ke tengah hutan tanpa busana dan tanpa impian. "Wah, kasihan sekali nasib sang putri", Rudy mengelus dada dan menghela nafas panjang. Sepanjang hari, putri hanya berteman dengan  kawanan binatang dan makan  buah-buahan yang tumbuh liar di hutan.

Tidak ada seorang pun yang mengerti penderitaan putri. Putri anak yatim piatu, ayah dan ibunyi disihir oleh ratu jahat hanya untuk menguasai kerajaan. Karena belas kasihan dari lelaki bertubuh kekar itu, akhirnya putri dijadikan teman. Keduanya tinggal di sekitar pegunungan himalaya. Putri berulang kali menolak perasaan lelaki itu karena menganggap dirinya tidak sempurna, namun kesetiaan dan kebesaran hati lelaki itu, akhirnya putri menerimanya menjadi pendamping hidup. Rudy terlelap. Wanita itu berharap, Rudy bisa berjumpa dengan lelaki itu, bukan untuk mencintai sang putri tetapi memintanya mengajari tentang arti dari kerendahan hati.

            "Kamu belum mengantuk?", tanya wanita itu mengagetkan. "Aku masih ingat kisah putri  dan penderitaan yang dialaminya, seandainya saja, aku adalah putri itu, barangkali pilihan satu-satunya adalah putus asa". " Putus asa bukan pilihan melainkan "kelalaian" otak untuk berpikir.

Putri dan lelaki bertubuh kekar itu adalah kita, pemilik sah republic ini. Semakin tinggi posisi seseorang dalam jabatan, orang kecil yang tak berdaya diabaikan dan dibuang. Permata orang-orang kecil adalah amanat, bukan untuk menghias bola mata bagi orang-orang yang memegang jabatan melainkan cahaya yang senantiasa bersilau saat mata meredup. Ketika sang putri dan lelaki bertubuh kekar itu hidup bahagia, datanglah gerombolan lelaki dan mengahncurkan gubuk dan rumah tangga mereka berdua. Lelaki itu dibunuh dengan kejam karena melontarkan kalimat "pribumi" yang artinya kamilah yang paling sah berkuasa atas daerah ini.Tidak ada seorang pun yang berani merebutnya, sekalipun keturunan orang itu berasal dari daerah ini sesuai dengan evolusi Charles Darwin", wanita itu hebat. Aku dijadikan pengganti Rudy untuk memahami situasi sosial yang terjadi di sekitar. Yang bagiku, Rudy belum cukup memahami ending dari cerita dongeng ini. Pukul duabelas  tengah malam buta, hanya terasa sepoi-sepoi angin yang menggiggit urat nadi dan lolongan anjing yang senantiasa menemani sepinya malam. Kami tertidur. Pada beningnya mata wanita itu, ada sorotan  kisah yang tengah disembunyikan.

***

Menjelang pagi, aku tidak bisa tidur. Ada segumpal pertanyaan seperti benang yang sulit kuurai. "Siapakah sebenarnya wanita ini", gumamku dalam hati. Wanita itu tertidur pulas diantara aku dan Rudy. Ada sesuatu benda yang merogoh bathinku.  Tiba-tiba terasa sakit, lalu aku mual-mual. "Apa gerangan", pikiranku berkecamuk. Kuangkat tanganku dengan hati-hati, menggenggam erat tangan wanita itu. Di pojok ada sebuah lemari bertuliskan huruf "x". Konon, aku pernah mendengar bahwa jika ada  benda bertuliskan huruf "x", yang bisa membuka benda itu hanyalah pemilikinya sendiri. Ibu jarinya kuangkat pelan, lalu meletakannya persis di tombol berwarna merah. Lemari pun terbuka. Ada sebuah diary bertuliskan tumbangnya rezim orde baru. Tiap lembar kubuka. Pada halaman ketiga, tertulis " aku perempuan biasa, dari kumpulan terbuang", aku ingat barangkali wanita ini terinspirasi dengan puisi  penyair Chairil Anwar  dan sulit memamerkan idolanya. Uniknya, Pada akhir baris ketiga, ada segumpal darah yang kering, membatu. "Apa arti darah  baginya, untuk sebuah buku yang polos ini?", lama menelaah isi terdalam dari kalimat per kalimat, akhirnya aku berkesimpulan bahwa wanita ini adalah salah seorang pejuang yang menentang rezim orde bar. Pejuang yang masih hidup dalam kisah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun