Cerpen Betrix AranÂ
                                                                 Nirmala , Ake Tani!
Musim-musim kematian.
Hujan bulan Oktober menjerat petir. Bising, lebih bising dari sentakan kaki tarian hedung.
Persuaan yang semakin kelam semakin akrab mirip tatapan kekal dua kembar gunung lewotobi dengan segelas kopi dan sepiring jagung titi mengadu nikmat dalam coleteh yang tak kunjung usai.Semuanya hanya ingin menepis petaka yang datangnya serba mungkin.
Pulpen dan selembar formulir diterimanya dari ketua RT sore tadi, dibumbui janji-janji bombastis bagai mengecap jagung bose, dilabeli cap yang berbisa dengan racikan hasrat yang selama ini menyatu dalam perbincangan setiap kali waktu makan tiba.Utopia sempurna yang semuanya semu belaka. Tak tahu kebenaran, sirnah, ikut doktrin privat yang absurd, berideologikan tunai. Ketika nuraniku angkat bicara, digencat oleh vonis yang tak dapat ditawar-tawar. Grogi.
Mungkinkah vonis yang nantinya dijatuhkan atas diriku yaitu hukuman rasa ataukah daulat yang kekal?. Cemas, takut juga tetapi secepatnya kujegal naluri untuk bungkam. Surut bersama titik-titik gerimis.
***
"Perkenalkan, nama saya Nirmala,,,,Nirmala? Nama yang suci tanpa noda berdasarkan esensi katanya. Awal perkenalan kami di sebuah dusun di pinggir kota Renya.
Ketika itu Nirmala duduk di sebuah lopo di bibir pantai sembari memandang para nelayan yang berusaha meniti hidup di amukan gelombang laut sawu. Rambut keritingnya ditarik diolesi venon merah berurai sepanjang bahu dengan kelopak mata yang sengaja dicabut lengkung mengikuti pola bulan sabit.Meskipun ia tidak secantik wanita yang pernah hadir dalam mimpiku sebelum-sebelumnya namun aku bergitu terkesima dengan roman mukanya yang elok, sampai aku menemukan sepotong cinta tanpa cacat dari biru matanya yang nyaris disapu senja.
Menimbang bimbang yang datang, akupun memberanikan diri mengungkapkan apa yang dirasakan oleh hati. Usai mengekspresikan bahasa hati, kegamangan menutupi tubuhku.