Mohon tunggu...
Besse Herdiana
Besse Herdiana Mohon Tunggu... Dosen - Its me

Saya perempuan yang selalu gagal menghibur diri sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Logika Sesat dalam Cinta

30 Mei 2020   09:59 Diperbarui: 30 Mei 2020   10:05 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa waktu lalu saya pernah membaca sebuah tulisan dari salah seorang mahasiswa saya, judulnya “Give Up” tentang cinta dan hal yang lainnya. Cerpen ini ditulis oleh seorang mahasiswa semester dua kala itu, dan sekarang si mahasiswa ini tengah menyeselesaikan tugas akhirnya untuk jenjang sarjana. Beberapa kali dia datang pada saya dengan keluhan betapa sulitnya dia meng-ilmiah-kan latar belakang di proposalnya, mungkin dia terlanjur asyik memasak kata-kata.

Perihal membaca, persoalan ingin tahu sebenarnya alasan kedua saya menyukai membaca, alasan yang pertama adalah membunuh segala kesepian-kesepian saya. Beberapa waktu saya membaca roman picisan dan beberapa waktu lagi saya membaca hal-hal serius. Kembali pada topik awal, tentang hasil pembacaan terhadap “give up”.

 “Lalu?” Qila memutar bola matanya. “Tahu tidak? Wajah datar dan responmu yang biasa-biasa saja, itu tidak bisa menyembunyikan luka yang matamu simpan, jangan munafik Zahra, kau bukan pembohong yang baik!”

Qila dan Zahra adalah tokoh fiktif yang diberikan nyawa, hidup baru dan karakter oleh si penulis, saya biasa menyebutnya “penulis adalah tuhan kecil dalam karyanya”. Dalam dunia real kedua karakter tokoh ini muncul pada beberapa karakter manusia dalam bentuk nyata “pembohong ulung untuk dirinya”

Selain menjadi pembohong yang ulung. Kadang-kadang ada banyak hal kegilaan lain yang dilakukukan orang-orang untuk istilah ini ‘CINTA’ tentu saja konsepsi cinta yang saya maksudkan adalah istilah yang lebih merujuk kepada laki-laki dan perempuan, dan bahkan kadang berakhir dengan cukup mengerikan. Ada banyak kisah yang kemudian mengikuti kisah Romeo-Juliet dan Laila Majnun. Beberapa waktu yang lalu diakhir tahun 2017 saya membaca koran dengan halaman utama tentang anak pejabat yang memilih mengakhiri hidupnya sambil melakukan video call dengan sang pacar kemudian gantung diri. Tahun 2017 adalah 3 tahun yang lalu, ingatan saya tidak cukup buruk untuk hal-hal yang membuat saya terkesan. Kekasih yang melompat dari motor karena pertengkaran kecil, fakta kecil ini menimpa salah satu mahasiswa saya semester akhir di tahun 2017 juga. Pengetahuan ini bukan saya dapat bukan karena kepo, melainkan ketidakhadirannya di dalam kelas oleh sebab dia harus menjalani beberapa operasi pada bagian kepala. Beberapa pertanyaan “kenapa dan mengapa” kemudian terjawab dengan cerita dari teman-teman kelasnya.  Kekasih lain yang meminum baigon, dan kisah-kisah yang lainnya. Apa yang dilakukan Zahra (give up) tentunya tidak setragis pada beberapa kisah yang saya sebutkan di atas. Zahra melakukan mekanisme pertahanan antara realitas dengan apa yang ada dalam nalurinya. Zahra memilih berbohong untuk hal yang tak bisa diakuinya secara blak-blakan. Ahyar Anwar pernah mengatakan bahwa manusia modern dengan sengaja menciptakan tragedi dalam hidupnya. Mengapa? sebab mereka melakukan penipuan diri yang tragis dengan menyembunyikan diri dan melarikan diri dan juga menghindari. Pada bagian yang lain saya lebih setuju dengan asumsi satre, manipulasi terhadap diri sendiri pada dasarnya adalah menghindari kecemasan. Menurutnya, untuk membebaskan diri dari kecemasan cinta adalah sama dengan menghindari kebebasannya untuk memilih. Jika demikian setidaknya manusia rekaan dari Tolstoy sebut saja Anna telah melakukan hal yang bertolak belakang dari sisi Satre. Seorang Anna melakukan pengakuan kepada suaminya bahwa dia adalah istri simpanan dari laki-laki lain. Pengakuan yang sedikit menohok untuk Karenin tetapi tidak untuknya. Anna memilih membebaskan diri dari kecemasan akan hubungan gelapnya. Lalu bagaimana dengan manusia real ?Seberapa banyak pengakuan-pengakuan yang membuat kita terbebas dari sebuah kecemasan? Berapa banyak tragedi yang kita ciptakan untuk terlihat baik-baik saja?

Apa yang bisa dipahami dari beberapa potongan kisah dan asumsi Satre dan Ahyar Anwar? Bahwa benar kadangkala manusia dalam realitas melakukan penipuan terhadap dirinya sebagai tameng untuk dikatakan survive. Tentu saja gagasan ini mengacu pada beberapa potongan kisah yang saya sebutkan di bagian awal, beberapa kebodohan dan konsep menghindari kecemasan dengan berbohong pada diri. Menangis dan tertawa untuk waktu yang sama untuk mengurangi kecemasan dalam batin. Pertahanan yang luar biasa saya pikir, bertarung dengan diri untuk kelihatan baik-baik saja. Perihal kecemasan juga banyak dibahas oleh Freud yang seorang dokter hewan tetapi teori tentang psikoanalisisnya banyak dipakai untuk menganalisis manusia entah yang fiktif ataupun real. Freud melihat kecemasan sebagai pertentangan antara realitas yang diharapkan, atau bahasa sederhananya kecemasan muncul sebab ada sesuatu yang tidak bisa dipenuhi.

“Its ok” I’m ok”, “saya baik-baik saja”, “saya tidak apa-apa”. Rentetan kalimat kalimat yang sepertinya sudah menjadi kesepakatan, dan bagian yang tak kalah menarik dari dialog antara Satre dan Ahyar Anwar (saya katakan dialog sebab kedua gagasan dari orang ini semacam ilham untuk menuliskan tulisan ini yang mungkin sedikit receh) adalah gagasannya tentang kebebasan yang terlibat dalam cinta. Saya masih ingat dengan jelas dan bahkan saya merasa lucu sendiri mengingatnya. Situasi ini terjadi ketika umur saya masih muda. Saya menerima sebuah pesan singkat yang kedengarannya lebih kepada ancaman daripada sekadar perhatian. Bunyinya kira-kira seperti ini “Awas, kalau keluar tidak bilang”. Kalimat yang seperti ultimatum untuk sebuah hubungan yang bahkan saya tidak tahu apakah akan berakhir dengan dia atau tidak. Kalah dengan ultimatum ayah saya yang membebaskan dengan cara filosofi sekali. Kalimat larangan selalu diganti dengan kalimat filosofi “inngerakki Nak (ingat kami Nak)”.

“Awas, kalau keluar tidak bilang” dalam konteks saya oleh Ahyar Anwar diistilahkan dengan  ‘menangkap’, ‘mengurung’ dan ‘memenjarakan. Kadangkala manusia (kita) menerima dengan patuh tanpa protes, meskipun kebebasan itu seolah-olah terenggut. individu yang dulunya belum kenal kata kita (pasangan kekasih) dulu bebas kemana-kemana, tertawa bersama teman-teman, tiba-tiba menjadi wajib lapor 24 jam, dan ini dianggap sebagai kewajaran untuk penganut konsep kita (pasangan kekasih) untuk saling mengabarkan, memerhatikan, memastikan. Tapi bagaimana dengan beberapa bentuk larangan? Perhatian atau justru penjara?Posesif atau hanya untuk bentuk penegasan  bahwa kekasih kita adalah seorang laki-laki yang sejatinya lebih memiliki ‘power’ dibandingkan dengan perempuan, sehingga patriarki tetap berlaku. Menyinggung tentang kebebasan saya teringat akan beberapa gagasan dari orang-orang feminisme oleh perempuan-perempuan yang dengan tegas menolak bentuk ‘penjara’ itu secara gamblang, penjara yang dalam hubungannya dengan eksistensi manusia oleh Ahyar Anwar manyebutnya ‘logika sesat dalam cinta’ sementara Satre lebih memilihi istilah ‘ilusi khayali’

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun