Mohon tunggu...
Berty Adirachya
Berty Adirachya Mohon Tunggu... Communication Student

Author

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ramadhan Terakhir di Rumah Lama

23 Maret 2025   09:01 Diperbarui: 23 Maret 2025   09:01 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Malam itu, lampu ruang tamu masih menyala meski waktu sudah menunjukkan pukul sebelas. Bau semerbak masakan Ibu masih tercium dari dapur. Aku duduk di sudut ruangan, menatap Ibu yang sibuk menyiapkan hidangan untuk sahur esok. Ini Ramadhan terakhir kami di rumah lama, rumah yang menyimpan ribuan kenangan sejak aku kecil.

Ayah duduk di sampingku, matanya sayu. Kami tahu, setelah Lebaran nanti, rumah ini akan dijual dan kami akan pindah ke kota lain karena pekerjaan Ayah. Sambil memandang Ibu, Ayah berbisik, "Nikmati detik-detik ini, Nak. Ini bulan penuh berkah, dan mungkin takkan kita temui lagi suasana seperti ini di tempat baru."

Setiap malam Ramadhan, rumah ini penuh dengan tawa. Kami biasa berbuka bersama, salat tarawih berjamaah di ruang tengah, dan mendengarkan dongeng-dongeng Ramadhan dari Ibu sebelum tidur. Namun tahun ini, segalanya terasa lebih berharga, lebih syahdu. Mungkin karena kami tahu, inilah akhir dari kebersamaan kami di tempat ini.

Di pagi hari, suara adzan Subuh dari surau kecil di seberang rumah terdengar syahdu. Aku terbangun dan mendapati Ayah dan Ibu sudah siap sahur. Menu sederhana, nasi goreng dan telur dadar, terasa seperti hidangan istimewa karena kami menikmatinya bersama. Tawa kecil Ibu saat Ayah bercerita tentang pengalaman lucunya saat muda, menghangatkan suasana yang hening. Kami seperti tak ingin waktu berlalu.

Hari demi hari, Ramadhan berlalu dengan cepat. Ibu selalu memastikan setiap momen bersama menjadi kenangan indah. Kami membuat kue lebaran bersama, tertawa saat kue nastar kami gosong, dan saling menyuap adonan sambil bercanda. Ayah, meskipun lelah bekerja, selalu meluangkan waktu berbincang denganku selepas tarawih, menceritakan kisah hidupnya dan bagaimana ia dulu merasakan Ramadhan masa kecilnya.

Menjelang malam-malam ganjil, kami semakin khusyuk. Ayah mengajakku ke surau untuk qiyamul lail. Langit malam penuh bintang, dan udara terasa sejuk. Dalam diam, aku berdoa agar kami selalu diberikan kebahagiaan walau harus meninggalkan tempat ini. Surau kecil itu, dengan lampu temaram dan suara bacaan Al-Qur'an yang merdu, akan selalu menjadi bagian dari ingatanku.

Sementara itu, Ibu mulai merapikan barang-barang yang akan kami bawa. Setiap sudut rumah, setiap dinding, menyimpan cerita. Aku menemukan kalender Ramadhan bertahun lalu, masih tergantung di dapur. Ibu menatapku, senyum sendu menghiasi wajahnya. "Ramadhan takkan pernah sama, Nak, tapi kebersamaan kita adalah rumah sejati."

Hari terakhir Ramadhan, kami berbuka dengan menu kesukaan: kolak pisang, opor ayam, dan ketupat. Makan sambil menatap meja makan tua, aku menahan air mata. Rumah ini akan berpindah tangan, namun cintanya akan selalu tinggal bersama kami. Setelah makan, kami berpelukan, merasakan kehangatan yang tak tergantikan.

Lebaran tiba. Setelah salat Ied, kami pamit pada tetangga, berpamitan pada rumah, pada halaman tempat aku bermain kecil, pada dapur yang penuh kenangan, dan kamar-kamar yang dulu jadi saksi tawa kami. Aku tahu, Ramadhan berikutnya akan berbeda. Tapi kenangan Ramadhan di rumah lama ini akan menjadi pelita dalam setiap perjalanan kami ke depan. Karena keluarga, adalah rumah sejati yang selalu kita bawa kemanapun kita pergi.

Beberapa bulan kemudian, kami menetap di kota baru. Suasana jauh berbeda, namun semangat Ramadhan tetap kami jaga. Ibu membuat masakan favorit kami, Ayah tetap mengajak kami ke masjid, dan setiap malam kami berbagi cerita di meja makan baru. Rumah kami memang berubah, namun cinta dan kebersamaan tetap sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun