Dari dalam bus, tidak terlihat awan yang biasanya berarak pelan menutupi terik. Angin membawa pergi awan-awan yang biasa beri sedikit teduh. Gelombang matahari menyengat yang rutin melanda pinggiran kota memang selayaknya tidak lagi membuatku gusar, tetapi tetap saja. Temperatur ini jangan-jangan sudah melampaui panas tubuh manusia normal, mungkin saja disupport kontribusi labrak klakson, bising knalpot, dan monoksida hitam pekat yang berhembus ke dalam interior bus, memicu para penumpangnya untuk murka, tapi direpresi karena sadar lingkugan.Â
Setidaknya, hipotesis tersebut timbul lewat observasiku sebagai salah satu penumpang yang sama-sama kepanasan seperti penumpang lain, sependeritaan, sepenanggungan. Masih, bukan itu yang memicu panas, karena aku sudah terbiasa dengan hawa macam begini. Maklum, daripada pergi dengan mobil, aku belajar memprioritaskan penggunaan transportasi publik, seperti komunitas-komunitas masyarakat terdidik di negeri Eropa.
Sampai di kos, seorang kawan mengirimiku pesan yang nyaris tak bisa kupercaya. Bergegas melihat breaking news pada saluran televisi lokal, disiarkan berita kampusku sedang terbakar. Gedung tempatku menimba ilmu tersebut dilahap api, beberapa saat setelah aku pulang dengan bus.
"Berarti aku libur kah? Tidak juga. Beberapa progres mata kuliah akan tertunda dan rencana-rencana akademik beberapa bulan kedepan akan kabur. Aku sebagai mahasiswa harus menunggu banyak kejelasan." Setidaknya, begitulah pikirku.
"Pemirsa! Sangat terlihat saat ini bahwa api yang melahap gedung fakultas tersebut cukup besar dan dapat menjalarkan api ke ruangan-ruangan lain." Ujar reporter televisi, juga berapi-api
"Bang! Kampus kebakar bang, gile! Bisa libur lama kita nih!" ucapku dalam telepon dengan teman, memberitahu bahwa kampus kebakaran.
Dalam siaran berita televisi itu, terlihat kepulan asap hitam tebal diatas ruangan-ruangan kampus yang terbakar. Terlihat juga orang-orang berlarian, bingung lari kemana.
"Betul bu, ini sudah hampir sejam kali bu gedung kebakaran. Saya belum tau betul ini tadi api darimana asalnya. Pemadam juga datang barusan." Suara Pak Bon yang sedang diwawancarai oleh reporter di depan kamera dengan latar belakang gedung kampus yang sedang terbakar. Dalam sorotan itu, terlihat beberapa orang pemadam beserta karyawan kampus yang sibuk menyiram, menyemprotkan air, memadamkan api, sangat ramai dikerubungi mahasiswa yang sibuk merekam kejadian dengan ponsel.
Di atap kos, dari arah kampus bisa kulihat kepulan asap hitam, terlihat kecil karena jauh.
"Masa depan..." kata hati kecil-satir-ku.
***