Mohon tunggu...
Pendidikan Pilihan

Review Kualitas "The Boy in The Bubble"? Baca di Sini!

24 Februari 2019   09:39 Diperbarui: 28 Februari 2019   19:37 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: happyvideonetwork.com

Kualitas dibanding kuantitas selalu menjadi kata yang digaungkan ketika kita membicarakan sebuah karya, tak terkecuali video.

Video yang merupakan penggabungan audio, visual dan konteks ini kerap kali kita jumpai di berbagai platform, salah satunya Youtube. Di youtube, berbagai video disajikan secara bebas, namun kualitas video sangat beragam dan tidak semua video yang ada layak dikatakan baik. 

Berdasarkan kriteria yang dipaparkan oleh Jason Rich, berikut adalah delapan cara menilai apakah video yang biasa kita tonton sudah cukup baik:

  • Video lebih baik pendek dan to the point
  • Penonton harus sudah mengerti ide pokok dari video di menit-menit awal video
  • Ada ajakan (susbscribe, like, dll) diawal, pertengahan atau akhir video
  • Target audiens dari konten video jelas dan spesifik
  • Ada unsur keunikan yang membedakan video dengan konten video lainnya
  • Konten video membawa informasi, edukasi dan pengetahuan yang relevan serta mudah dipahami
  • Professional looking & Good Audio (dubbing dan background music)
  • Judul video sopan dan mampu menjelaskan isi konten video

Kriteria oleh Jason Rich ini sendiri bukan patokan baku akan apa yang harus kita nilai dari sebuah karya, apalagi bahwa terkadang pemikiran kita bisa saja subjektif dalam menilai namun kriteria ini cukup menjadi landasan awal. 

Melihat kriteria ini pula, penulis akan memberikan review terhadap konten video oleh New York Times yang berjudul "The Boy In The Bubble | Retro Report | The New York Times".

What is it About?

Sumber: fos.cmb.ac.lk
Sumber: fos.cmb.ac.lk
Sekilas informasi, konten video ini berisikan sebuah dokumentari dari seorang anak yang lahir pada 1973 bernama David Vetter, penderita severe combined immunodeficiency (SCID). Penyakit ini membuat David mengalami perlambatan sistem imun di tubuhnya sehingga ia harus hidup dalam sebuah plastik berbentuk gelembung yang harus steril tanpa kontak fisik dengan manusia lainnya.

Singkat cerita, pada usia 12 tahun, David Vetter harus menyerah pada penyakitnya dimana usaha dokter pada masa itu untuk melakukan transplantasi mendapat penolakan dari tubuh David dan menyebabkan harapan David untuk hidup seperti 'manusia normal' pupus. 

Meskipun demikian, David Vetter menjadi pioneer dimana severe combined immunodeficiency (SCID) mendapat perhatian dunia kedokteran sehingga hari ini, penyakit yang dulunya mematikan itu dengan mudah dibunuh.

https://s.hdnux.com/photos/05/26/22/1402016/3/920x920.jpg
https://s.hdnux.com/photos/05/26/22/1402016/3/920x920.jpg
Is It Worth It? (Based on Jason Rich's Criteria)

Video pendek dan to the point > Video yang New York Times angkat sudah tergolong pendek karena cerita hidup David Vetter tidak diangkat secara detail, melainkan langsung menyorot David ketika ia mulai mengidap penyakitnya.
Peniliain: Sudah baik

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun