Mohon tunggu...
Berliani November
Berliani November Mohon Tunggu... Mahasiswa : komunikasi

Tak sekadar menulis, tapi mencoba memahami dunia lewat kata.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Kebocoran Data Afghanistan: Tragedi Berulang yang Mengancam Nyawa Para Pahlawan

17 Agustus 2025   17:36 Diperbarui: 17 Agustus 2025   17:36 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Warga Afghanistan dievakuasi ke Inggris setelah Taliban mengambil alih kekuasaanHak Cipta Kementerian Pertahanan/Mahkota 2021

Inggris kembali dikecam keras setelah terungkap kebocoran data besar-besaran kedua yang mengekspos informasi pribadi hingga 3.700 warga Afghanistan. Yang lebih tragis, insiden ini terjadi hanya sebulan setelah skandal serupa tahun 2022 terungkap ke publik, menunjukkan kegagalan sistemik dalam melindungi mereka yang telah mempertaruhkan nyawa demi Inggris.

Siber Attack yang Menghancurkan Harapan

Kebocoran terbaru ini terjadi akibat serangan siber terhadap Inflite The Jet Centre, sebuah perusahaan subkontraktor Kementerian Pertahanan Inggris yang menyediakan layanan penanganan darat untuk penerbangan di Bandara London Stansted. Perusahaan ini mengalami "insiden keamanan siber" yang mengakibatkan akses tidak sah ke sejumlah email perusahaan yang berisi data sensitif.


Data yang terekspos mencakup nama lengkap, informasi paspor, dan nomor referensi Kebijakan Relokasi dan Bantuan Afghanistan (ARAP) dari warga Afghanistan yang melakukan perjalanan ke Inggris antara Januari hingga Maret 2024. Yang mengkhawatirkan, korban tidak hanya terbatas pada pengungsi Afghanistan, tetapi juga meliputi personel militer Inggris dan mantan menteri pemerintahan Konservatif.

Email Peringatan yang Terlambat

Pada Jumat sore, tim pemukiman kembali Afghanistan mengirimkan email darurat kepada keluarga-keluarga yang terdampak. Email tersebut menjelaskan bahwa informasi pribadi mereka "mungkin telah terungkap," termasuk rincian paspor seperti nama, tanggal lahir, nomor paspor, dan nomor referensi ARAP.

Namun peringatan ini datang terlalu terlambat bagi banyak keluarga yang sudah hidup dalam ketakutan konstan. Bagi mereka yang masih berada di negara-negara transit seperti Pakistan, kebocoran data ini bukan sekadar masalah privasi ini adalah ancaman hidup dan mati.

 Tragedi Berulang: Dari 19.000 Menjadi 3.700

Insiden terbaru ini mengingatkan kita pada pelanggaran data masif tahun 2022 yang mengekspos hampir 19.000 warga Afghanistan. Saat itu, seorang pejabat Inggris secara keliru membocorkan lembar kerja berisi nama, rincian kontak, dan informasi keluarga orang-orang yang berpotensi berisiko dianiaya Taliban.

Kebocoran 2022 yang baru terungkap pada Juli lalu memaksa ribuan warga Afghanistan diam-diam dipindahkan ke Inggris dalam operasi rahasia. Namun, banyak yang masih menunggu di negara-negara transit, hidup dalam ketidakpastian dan rasa takut yang luar biasa.

Kisah Tragis Anggota "Triples"

Program BBC Newsnight berhasil mewawancarai putra seorang anggota pasukan khusus elit Afghanistan yang dikenal sebagai "Triples" unit yang bekerja sama erat dengan Angkatan Darat Inggris. Keluarga ini menjadi korban kebocoran data MoD yang pertama dan mengajukan permohonan ARAP tak lama setelah Taliban berkuasa pada Agustus 2021.

Meski permohonan mereka telah disetujui Kementerian Pertahanan pada tahun lalu, keluarga ini masih menunggu di Pakistan dalam kondisi yang memperihatinkan. Yang lebih tragis, otoritas Pakistan menggerebek hotel tempat mereka menginap dan ayah dari keluarga ini menghadapi deportasi segera kembali ke Afghanistan.

Putranya, yang berhasil bersembunyi dari otoritas dan berbicara kepada BBC, memohon dengan putus asa: "Tolong bantu keluarga saya dan hindari pembunuhan mereka oleh Taliban." Namun pada hari Jumat, setelah wawancara tersebut disiarkan, Newsnight mengonfirmasi bahwa pria itu telah dideportasi kembali ke Afghanistan sebuah hukuman mati yang tertunda.

 Respons Pemerintah yang Mengecewakan

Menanggapi kritik tajam, juru bicara pemerintah Inggris menyatakan bahwa mereka "sangat serius dalam menangani keamanan data dan berupaya melampaui kewajiban hukum kami." Namun, kata-kata ini terdengar hambar mengingat ini adalah pelanggaran data kedua dalam kurun waktu singkat.

Kementerian Pertahanan berdalih bahwa "siapa pun yang datang ke Inggris harus melewati pemeriksaan keamanan dan masuk yang ketat" dan "dalam beberapa kasus, orang tidak lulus pemeriksaan ini." Penjelasan ini tidak memuaskan mengingat banyak yang sudah disetujui tetapi masih menunggu dalam kondisi berbahaya.

Kritik Keras dari Berbagai Pihak

Sir Mark Lyall Grant, mantan penasihat keamanan nasional Inggris, menyebut kedua pelanggaran data ini "sangat memalukan" bagi pemerintah Inggris. Dia menekankan bahwa meskipun pemeriksaan diperlukan, pemerintah harus "menghormati komitmen yang mereka buat" dan "bergerak lebih cepat untuk melindungi orang-orang yang benar-benar berisiko."

Mantan Kanselir Konservatif Kwasi Kwarteng menilai pelanggaran data ini "sangat serius" dan "sangat memprihatinkan," terutama bagi mereka yang menghadapi deportasi kembali ke Afghanistan. Sementara Juru Bicara Pertahanan Partai D

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun