Rabu, 13 Agustus 2025, Alun-Alun Kabupaten Pati tak lagi sekadar ruang publik yang sunyi. Lautan massa diperkirakan mencapai seratus ribu orang memadati pusat kota. Spanduk, poster, dan suara orasi bergema. Satu tuntutan menjadi benang merah: Bupati Pati Sudewo diminta mundur.
Aksi ini bukan muncul tanpa sebab. Kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen memicu kemarahan publik. Meski kebijakan tersebut akhirnya dibatalkan, luka kepercayaan sudah terlanjur terbuka.
Bagi warga, ini bukan sekadar soal pajak. Mereka merasa kebijakan itu diambil tanpa cukup mendengar suara rakyat. Dan di Pati, ketika kesabaran habis, protes berubah menjadi gelombang besar.
DPRDÂ Menjawab Tekanan Publik
Sehari setelah demonstrasi besar itu, DPRD Pati menggelar rapat penting. Hasilnya? Hak angket disetujui. Ini berarti dewan akan membentuk panitia khusus (pansus) untuk menyelidiki kebijakan dan langkah-langkah Bupati.
Yang menarik, usulan ini bahkan datang dari Fraksi Partai Gerindra, partai yang menaungi Sudewo. Artinya, kritik tak hanya datang dari luar, tapi juga dari dalam lingkar politiknya sendiri.
Ketua DPRD Pati, Ali Badrudin, menegaskan bahwa semua tahapan hak angket akan dijalankan sesuai prosedur. Proses ini diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3, mulai dari pengajuan minimal 25 anggota DPRD lintas fraksi, pembentukan Panitia Angket, hingga pengambilan keputusan akhir di rapat paripurna.
Hak Angket Senjata Parlemen untuk Mengawasi
Bagi sebagian masyarakat, istilah "hak angket" mungkin terdengar rumit. Padahal, ini adalah salah satu hak istimewa DPR/DPRD untuk mengawasi eksekutif. Dengan hak ini, dewan bisa memanggil pejabat, meminta dokumen, bahkan menggunakan bantuan kepolisian untuk menghadirkan pihak yang mangkir.
Jika hasil penyelidikan menunjukkan pelanggaran hukum atau penyalahgunaan wewenang, DPRD bisa melanjutkan ke hak menyatakan pendapat  tahap yang berpotensi mengarah pada pemakzulan kepala daerah.
Lebih dari Sekadar Konflik Politik
Kasus ini bisa jadi akan dikenang sebagai salah satu momen politik lokal paling dramatis di Pati. Di satu sisi, ia menguji keteguhan rakyat dalam mempertahankan haknya. Di sisi lain, ia menguji kedewasaan demokrasi lokal: apakah semua pihak bisa menempuh jalan konstitusional tanpa mengorbankan ketertiban dan keamanan.
Pati kini menjadi panggung bagi pelajaran besar: bahwa kebijakan publik tak hanya soal angka dan regulasi, tapi juga soal legitimasi di mata rakyat. Dan ketika legitimasi itu goyah, riak ketidakpuasan bisa berubah menjadi badai yang mengguncang kursi kekuasaan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!