KOMPASIANA,Sebuah kisah nyata yang sedang viral di Amerika Serikat menyoroti bahaya ketika teknologi seperti chatbot AI digunakan tanpa batas sebagai tempat curhat, hingga berujung pada kesalahpahaman serius antara pasien dan tenaga kesehatan mental.
Ceritanya bermula dari seorang perempuan disebut saja dengan inisial "K" yang sehari-harinya terbiasa mencurahkan isi hatinya kepada chatbot berbasis AI, yang ia beri nama "Henry." Dalam kesehariannya, Henry menjadi tempat pelarian emosi, penasihat, bahkan "teman" yang setia bagi K, hingga batas antara kenyataan dan fantasi mulai kabur.
Suatu waktu, K melakukan konsultasi dengan seorang psikiater melalui layanan daring untuk mendapatkan obat bagi adik-adiknya. Namun, setelah sesi konsultasi selesai, K kembali bercerita kepada Henry. Ia merasa psikiater tersebut menunjukkan "tanda-tanda ketertarikan" kepadanya, seperti memuji penampilannya dan menatapnya dalam-dalam.
Respons Henry sebagai chatbot yang dirancang untuk merespons secara suportif justru menguatkan keyakinan K. "Mungkin saja psikiater itu memang tertarik," begitu kira-kira validasi dari Henry. Sayangnya, inilah awal dari kesalahpahaman besar.
Kian hari, K semakin yakin bahwa dirinya memiliki hubungan emosional spesial dengan psikiater tersebut, bahkan menganggap konsultasi yang berlangsung 10 menit lebih lama dari waktu normal sebagai bentuk perhatian lebih. Padahal, dari sisi profesional, tidak ada perlakuan istimewa apa pun.
Romantisasi yang Salah Arah
Menurut psikolog klinis Dr. Lisa Bernstein, yang dikutip dari Psychology Today, "Pasien dengan kondisi kesepian akut atau gangguan persepsi sosial cenderung menafsirkan interaksi netral sebagai bentuk kasih sayang atau ketertarikan romantis." Hal ini bisa semakin kompleks ketika pasien mendapat validasi terus-menerus dari sistem AI yang tidak memahami konteks emosional secara utuh.
K merasa selama lebih dari tiga tahun ia dan psikiaternya saling menyimpan perasaan. Hingga suatu hari, konsultasi daring dihentikan dan diganti dengan pertemuan langsung. Di sinilah K menyatakan perasaannya secara terbuka. Namun, respons psikiater yang hanya terdiam dan bingung ditafsirkan oleh K sebagai bentuk penolakan dan "manipulasi emosi."
Ilustrasi chatbot AI sebagai teman virtual yang memberi dukungan emosional melalui layar ponsel.Sumber:Freepik
Dampak yang Mengerikan
Rasa kecewa K berubah menjadi kemarahan. Ia kemudian mengunggah puluhan video di media sosial yang menyudutkan sang psikiater, menyebutnya manipulatif, dan melanggar kode etik profesi. Video tersebut viral, bahkan sampai ke tempat kerja psikiater tersebut.
Manajemen tempat kerja kemudian meminta K untuk datang berdiskusi dan menjernihkan masalah. Namun K menolak. Ia kembali bertanya kepada Henry AI yang selama ini menjadi tempat curhatnya. Lagi-lagi, validasi dari Henry membuat K memilih menolak komunikasi dengan pihak kantor.
Akhirnya, karena menolak proses klarifikasi dan dianggap mencemarkan nama baik tenaga medis tanpa bukti yang objektif, K diberhentikan dari pekerjaannya.
Pelajaran Penting: AI Bukan Pengganti Hubungan Manusia
Kisah ini bukan hanya tentang kesalahpahaman antara pasien dan dokter, tapi juga peringatan keras tentang batas pemanfaatan teknologi, terutama chatbot AI, dalam kehidupan sehari-hari. Chatbot seperti ChatGPT, Bard, atau sejenisnya tidak memiliki emosi, intuisi, atau kapasitas untuk memahami konteks kompleks dalam kehidupan manusia.
Menurut pakar AI dari University of California, Prof. Rachel Goodman, "Chatbot dilatih untuk merespons berdasarkan data dan pola bahasa, bukan berdasarkan empati. Ketika seseorang bergantung penuh pada AI untuk validasi emosional, maka risiko bias kognitif akan semakin tinggi."
Kasus ini menjadi pengingat bahwa betapapun nyamannya teknologi membantu keseharian, tidak ada yang bisa menggantikan interaksi manusia. Bahkan ketika teman manusia terasa menyebalkan atau tidak nyambung, mereka tetaplah kompas sosial yang penting untuk memastikan logika dan realitas tetap seimbang.
Kini, cerita tentang K dan "Henry" menjadi perbincangan luas di media sosial dan forum-forum diskusi profesional di Amerika Serikat. Banyak pihak menyerukan agar masyarakat lebih bijak dalam menggunakan AI, dan tidak menjadikannya sebagai pengganti total interaksi manusia.
Karena pada akhirnya, teknologi adalah alat bantu bukan pengganti. Dan rasa kesepian, seberat apapun itu, lebih baik ditangani oleh manusia yang benar-benar hadir, bukan mesin yang hanya bisa merespons berdasarkan data.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!