Aku gak nyangka malam biasa di kos bisa berubah jadi malam penuh pikiran. Awalnya cuma scroll TikTok sebelum tidur, terus muncul video yang langsung bikin aku bengong: "Dokter muda di Bandung jadi tersangka pelecehan seksual di rumah sakit."
Refleks aku langsung cari info lebih lanjut. Ternyata, nama yang disebut adalah Priguna Anugrah Pratama, seorang dokter muda yang lagi menempuh pendidikan spesialis anestesi di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung. Dia juga alumni Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), salah satu kampus kedokteran favorit di Indonesia.
Yang bikin makin merinding: dia sudah menikah.
Dari yang aku cari tahu, Priguna berasal dari Pontianak, Kalimantan Barat. Dia dikenal sebagai anak pintar, rajin, dan punya masa depan cerah. Sejak SMA, dia udah pengin jadi dokter, dan akhirnya bisa lolos ke Fakultas Kedokteran Unpad. Lulus jadi dokter umum, dia lanjut ambil program PPDS anestesi di RSHS yang artinya dia sedang dalam proses jadi dokter spesialis.
Secara luar, hidupnya terlihat sempurna. Pendidikan tinggi, pekerjaan jelas, dan seorang istri yang juga katanya seorang tenaga kesehatan. Tapi ternyata, semua kesan itu hancur dalam semalam.
Tanggal 18 Maret 2025, dini hari, seorang perempuan muda sedang menemani ayahnya yang dirawat di IGD RSHS. Kondisi sang ayah memang cukup kritis, dan waktu itu, korban sempat ditawari untuk mendonorkan darah demi membantu perawatan ayahnya. Karena sayang dan ikhlas, korban setuju.
Sekitar pukul satu pagi, Priguna Anugrah Pratama, yang bertugas sebagai dokter residen, menghampiri korban dan bilang bahwa dia perlu membawa korban ke ruangan lain untuk pengambilan sampel darah. Korban nurut, karena niatnya cuma satu: ingin ayahnya sembuh.
Di ruangan lantai tujuh gedung MCHC, korban disuruh ganti pakaian. Setelah itu, Priguna menyuntik korban sebanyak 15 kali, dengan dalih prosedur medis. Tapi bukan pertolongan yang dia berikan justru pelecehan yang terjadi. Korban hilang kesadaran setelah disuntik berulang kali.
Saat korban sadar beberapa jam kemudian, selain trauma dengan apa yang baru dia alami, dia juga harus menerima kenyataan pahit lainnya: ayahnya meninggal dunia.
Bayangin, datang ke rumah sakit dengan niat menyelamatkan ayah, malah jadi korban kejahatan, lalu kehilangan orang tua di hari yang sama. Rasanya kayak dunia runtuh dalam sekejap.
Semoga almarhum ayahnya diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa, dan korban diberi kekuatan untuk melalui ujian berat ini.
Yang bikin aku agak lega, pihak Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) ternyata juga gak tinggal diam. Setelah mendapat informasi dari korban dan melakukan penelusuran internal, pihak rumah sakit langsung melaporkan kejadian itu ke kepolisian. Jadi, bukan cuma korban yang speak up, tapi institusinya juga ikut ambil langkah hukum.
Aku sempat baca pernyataan dari pihak RSHS dan mereka menyebutkan bahwa mereka mendukung proses hukum sepenuhnya dan menyerahkan semua penyelidikan ke Polda Jawa Barat. Buat aku pribadi, ini penting banget. Karena kadang, institusi bisa aja nutup-nutupin demi nama baik. Tapi RSHS milih transparan.
Setelah penyelidikan oleh polisi dan pemeriksaan saksi serta barang bukti, Priguna resmi ditetapkan sebagai tersangka. Dia dikenakan pasal 289 KUHP tentang perbuatan cabul, dan karena korbannya dalam keadaan tidak sadar, itu bisa jadi faktor pemberat.
Pihak kampus, Universitas Padjadjaran, langsung ambil tindakan tegas juga. Mereka mengeluarkan Priguna dari program spesialis anestesi. Artinya, dia gak bisa melanjutkan pendidikannya sebagai calon spesialis. Bahkan, menurut info dari Kementerian Kesehatan, kalau seseorang sudah terlibat kasus kekerasan seksual, mereka gak akan bisa daftar PPDS di tempat lain juga.
Izin praktik medisnya juga terancam dicabut.
Reaksi publik langsung rame. Di media sosial, orang-orang mempertanyakan: kok bisa? Kenapa gak ketahuan sebelumnya? Banyak juga yang menyoroti fakta bahwa dia sudah menikah, dan tetap melakukan perbuatan ini di tempat kerja, pada seseorang yang sedang dalam kondisi rentan.
Aku bahkan sempat lihat beberapa komentar dari teman-teman sejawatnya. Mereka bilang shock dan kecewa. Karena Priguna dikenal sebagai sosok yang cerdas dan ramah. Tapi ya, kita gak pernah benar-benar tahu isi hati dan sisi gelap seseorang.
Sampai sekarang, gak banyak yang tahu gimana kondisi keluarganya, terutama istrinya. Tapi bisa dibayangin gimana beratnya posisi mereka. Nama baik, masa depan, semuanya runtuh dalam sekejap.
Sebagai perempuan, aku ngerasa kisah ini ngingetin kita semua betapa pentingnya punya rasa percaya tapi juga gak boleh terlalu buta. Bahkan di tempat yang kita anggap paling aman, kayak rumah sakit, kita tetap harus punya kontrol atas tubuh kita sendiri.
Dan salut banget buat korban. Di tengah tekanan, rasa takut, dan trauma, dia tetap berani melapor. Dia ngelawan. Karena keberaniannya, kasus ini bisa terbuka dan semoga besar gak ada lagi korban berikutnya.
Aku juga salut ke pihak rumah sakit dan Unpad yang tegas dan gak nutup-nutupin. Kadang, transparansi itu lebih menyelamatkan daripada pencitraan.
Kisah Priguna Anugrah Pratama adalah contoh nyata bahwa gelar, profesi, atau status pernikahan seseorang bukan jaminan moral dan niat baiknya.
Dia mungkin terlihat sempurna dari luar anak pintar, dokter muda, suami tapi satu tindakan fatal mengubah semuanya. Dan bukan cuma hidup dia yang hancur, tapi juga hidup korban dan kepercayaan publik terhadap dunia medis.
Semoga proses hukum berjalan adil. Semoga korban bisa sembuh secara fisik dan mental. Dan semoga kejadian ini bisa jadi pelajaran, terutama buat institusi pendidikan dan kesehatan, untuk lebih ketat dalam pengawasan. Karena kepercayaan itu mahal, dan sekali rusak, susah buat dipulihkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI