Mohon tunggu...
Berliani  Warsah
Berliani Warsah Mohon Tunggu... 24107030143

mahasiswa ilmu komunikasi universitas Islam negeri sunan Kalijaga

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Thr, Tiktok, Dan Lebaran Di Kost

9 April 2025   02:06 Diperbarui: 17 April 2025   08:05 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(foto:keluarga seleb tiktok nanda arsyinta(sumber:akun tiktok Nanda Arsyinta))

Lebaran tahun ini... agak beda buatku. Nggak ada suara takbir dari masjid kampung, nggak ada bau rendang yang nyangkut di dapur sejak subuh, dan yang paling terasa... nggak ada pelukan dari ibu. Aku nggak mudik. Bukan karena nggak pengen, tapi ada aja alasannya. Ujung-ujungnya, aku ngerayain Lebaran di kos. Sendiri. Sepi.

Pagi itu, aku bangun bukan karena suara alarm atau panggilan sahur, tapi karena notifikasi TikTok yang bunyinya nggak berhenti. Aku scroll iseng sambil selonjoran di kasur. Timeline penuh sama satu hal: tarian THR. Rame banget! Dari keluarga besar, anak pesantren, sampe geng komplek emak-emak, semua joget. Gerakannya lucu: kanan-kiri, lompat-lompat kecil, terus maju mundur dikit. Di akhir, ada yang nyodorin amplop THR sambil senyum lebar.

Aku senyum-senyum sendiri. Ternyata, orang Indonesia emang jagonya bikin suasana. Cuma dari joget bareng dan amplop, bisa jadi hangat gitu. Padahal aku cuma nonton, tapi berasa kayak ikutan nimbrung. Ada satu video yang bener-bener bikin aku ngakak kakek-kakek yang joget setengah niat, tapi tetap dapet THR dari cucunya. Netizen pun auto komen: "Yang penting usaha, Kek!"

(Foto:Tarian Yahudi(Sumber:akun tiktok MEDIA PUBLIC))
(Foto:Tarian Yahudi(Sumber:akun tiktok MEDIA PUBLIC))

Tapi nggak semua komentar se-positif itu. Di tengah tawa-tawa, aku nemu juga yang bilang:

"Itu tuh tarian Yahudi, hati-hati!" "Banyak yang nggak sadar, tapi itu ada unsur ritual agama lain." "Ini tuh bukan budaya kita."

Aku jadi agak mikir. Emang iya? Ini beneran tarian Yahudi?

Aku bukannya langsung percaya. Tapi juga nggak mau asal ikutan tren. Jadi aku cari tahu. Dari beberapa thread, artikel, bahkan video lama yang muncul di YouTube, ternyata gerakan viral itu sebenernya berasal dari tarian rakyat Finlandia tahun 1960-an, namanya Letkajenkka. Lalu menyebar ke Amerika, dikenal juga sebagai Bunny Hop. Bahkan di Arab Saudi sempat viral juga tahun 2014, dan sempat dianggap menyinggung karena dikira tarian Yahudi.

Tapi bener nggak sih ini tarian ritual Yahudi? Nah, di sinilah yang menarik. Emang ada satu tarian tradisional Yahudi, namanya Hora, yang gerakannya mirip: barisan, lompat kecil, dan bergerak seirama. Tapi tujuan dan konteksnya beda banget. Tarian itu dipakai buat merayakan kebahagiaan di acara pernikahan atau perayaan. Bukan ritual keagamaan.

Jadi bisa dibilang, tarian yang viral ini bukan murni dari satu budaya aja. Lebih kayak hasil remix global: dari tarian rakyat, jadi tren digital. Dan ketika masuk ke Indonesia, ya... kita kasih bumbu sendiri: dibikin buat lebaran, pakai baju koko, sarung, dan tentu aja, THR.

Jujur, aku lega sih. Karena awalnya takut juga kalau itu beneran sesuatu yang sensitif. Tapi setelah ngerti asal-usulnya, aku ngerasa: ya, ini bentuk kreativitas aja. Nggak ada maksud nyenggol budaya lain, apalagi agama. Bahkan banyak keluarga yang nggak pernah joget bareng sebelumnya, jadi ketawa-ketawa karena tren ini.

Dan aku sendiri, meskipun nggak ikutan joget, ngerasa kebagian hangatnya. Di kos, sendiri, tapi bisa senyum karena liat orang lain bahagia. Itu aja udah cukup bikin hati terasa "lebaran".

Aku juga jadi mikir, kadang yang bikin kita ribut tuh karena kita cepet banget menilai. Belum paham, udah nge-judge. Padahal bisa aja niat orang lain tuh simpel: pengen seneng bareng, pengen nyatu sama keluarga, pengen lebaran jadi momen yang dikenang. Nggak semua harus selalu berat dan serius.

Buatku, tarian THR yang viral itu jadi simbol. Bukan soal budaya siapa atau dari mana, tapi soal kebersamaan. Soal tawa. Soal ngasih sesuatu sambil tersenyum. Dan itu... nggak punya agama. Semua orang bisa ngerasain.

Aku ingat satu video yang bener-bener bikin aku hampir nangis. Ada ibu-ibu yang bagi THR ke anak-anaknya sambil nari, dan di akhir videonya ditulis: "Tahun ini kami nggak punya banyak, tapi tawa anak-anak cukup bikin kami kaya." Gila... deep banget. Itu bukan soal jumlah amplop, tapi soal hati.

Lebaran di kos juga ngajarin aku satu hal penting: suasana itu bisa diciptain. Bukan soal rame atau sepi, tapi soal kita mau bikin momen atau nggak. Aku mungkin nggak mudik, nggak salaman langsung sama orang tua, tapi aku tetep bisa merasa deket. Karena setiap kali denger takbir dari YouTube, atau baca chat dari keluarga, atau bahkan nonton video orang joget THR, hatiku ikut seneng.

Dan buat kamu yang mungkin kayak aku---nggak pulang, lebaran sendirian, atau cuma bisa mantengin tren dari layar jangan ngerasa sendiri. Dunia ini lebih nyambung dari yang kita kira. Kadang hal kecil kayak video TikTok bisa jadi penghubung antar hati.

Soal tarian THR, mau kamu suka atau nggak, mau kamu ikut atau cukup nonton aja kayak aku, yang penting kita tetap bijak. Jangan gampang nuduh, tapi juga jangan asal ikut. Cari tahu, pahami, lalu putuskan.

Akhirnya, Lebaran tetap Lebaran. Meskipun di kos. Meskipun cuma aku dan semangkok opor. Karena lebaran itu bukan soal tempat. Tapi soal rasa.

Dan tahun ini, rasa itu datang dari TikTok, dari tawa orang-orang, dari tarian THR yang katanya mirip tarian Yahudi tapi ternyata, justru bikin aku ngerasa lebih dekat dengan banyak orang, meski cuma dari balik layar.

Selamat Lebaran ya... buat kamu yang pulang, atau yang nggak. Yang dapet THR beneran, atau cuma nonton orang lain dapet. Yang joget, atau yang cukup senyum.

Karena semua bentuk bahagia itu sah. :)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun