Mohon tunggu...
Hukum

Dua Pertanyaan Besar yang Tidak Terjawab dari Persidangan Kasus SKL BLBI

30 Agustus 2018   00:38 Diperbarui: 30 Agustus 2018   00:59 619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah bergulir kurang lebih tiga setengah bulan, persidangan perkara Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) Senin depan (3/9/18) sampai pada tahapan selanjutnya, yaitu mendengarkan pembacaan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Puluhan saksi sudah diperiksa, saksi-saksi ahli hadir, agenda pemeriksaan terdakwa pun sudah dilakukan.

Semuanya bertujuan membuktikan dakwaan JPU KPK bahwa Mantan Ketua BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung (SAT) memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada obligor BLBI pemegang saham (PS) Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim. Sehingga, SAT merugikan keuangan negara.

SAT, Mantan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu diseret ke meja Pengadilan Tipikor Jakarta sejak 14 Mei 2018 lalu. Belasan saksi baik yang diajukan oleh JPU maupun oleh penasehat hukum berseliweran di layar kaca dan media cetak. Deretan saksi ahli pun hadir dan memberikan pendapat sesuai expertise mereka masing-masing.

Sepanjang saya mengikuti persidangan hingga saat ini, ada dua catatan yang menurut saya menarik. Kedua catatan ini adalah: pertama, hingga saksi terakhir usai diperiksa, unsur pidana dalam kasus ini masih tidak terbukti dan kedua, audit BPK yang digunakan melanggar asas audit yang dimiliki BPK sendiri. Berikut pemaparan saya.

Tidak terpenuhinya unsur pidana

Dalam persidangan (16/8/18) ahli Hukum Pidana Andi Hamzah memberi another insight pada sidang mengenai dua unsur dasar yang harus dipenuhi dalam suatu perkara pidana. Dua unsur dasar ini yaitu "actus reus" atau 'perbuatan yang melawan hukum' dan "mens rea" atau 'itikad yang melatarinya'. 

Guru besar ilmu hukum Universitas Trisaksi tersebut menyatakan dua elemen mendasar yang dipersyaratkan inilah yang tidak ada dalam perkara Syafruddin Temenggung. Padahal, tanpa salah satunya saja, tindak pidana tidak terpenuhi. Artinya, ketiadaan mens-rea-nya, bisa membuat seseorang lepas dari segala tuntutan hukum. Begitu pula ketiadaan actus reus.

Andi Hamzah dalam JPNN mengatakan, "Memperkaya orang lain mesti ada motifnya. (Sjamsul) Nursalim ada hubungan keluarga dengan itu (Syafruddin) gak?Tidak ada kan? Jadi untuk apa memperkaya dia (Sjamsul Nursalim). Di mana otaknya? Memperkaya orang lain kemudian merugikan negaranya sendiri? Tidak masuk akal kan? (Kecuali) kalau dia berbuat itu karena ada ada suap. Suap atau kickbackitu (pun) sama sekali tidak ada dalam dakwaan terhadap Syafruddin." 

Ketiadaan motif ini adalah hal yang ganjil. Wajar saja, menurut Andi Hamzah seperti diberitakan di Sindo, dalam Pasal 3 UU Tipikor, terdapat kalimat "Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi." Kalimat ini, kata Andi Hamzah lagi termasuk kategori perbuatan sengaja tingkat satu.

Artinya, untuk menjerat seseorang menggunakan pasal ini, harus dibuktikan ada kesengajaan sebagai maksud. Karena ada kata-kata "dengan tujuan", sedangkan semua pasal undang-undang pidana yang memiliki kata "tujuan", "dengan maksud", itu artinya ada kesengajaan.

"Jadi perlu ditekankan bahwa Pasal 2 dan Pasal 3 itu perbuatan sengaja. Tidak bisa kelalaian, tidak bisa pengabaian, memperkaya artinya sengaja," ujarnya seperti ditulis di Bisnis. Sebagai catatan, dalam dakwaan terhadap SAT, memang sama sekali tidak tercantum mengenai suap atau kickback (pemberian balik) yang diterima oleh SAT.

Padahal, kesengajaan ini perlu dibuktikan. Mengapa SAT sebagai pelaku sengaja melakukannya? Apa yang menjadi latar belakang? Kalau ia memperkaya diri sendiri, berapa jumlah uang yang diambil?

Audit yang tidak memenuhi asas asersi

Andi Hamzah kemudian juga meragukan adanya unsur actus reus atau 'perbuatan yang melawan hukum'. Ia menunjuk pada Audit BPK tahun 2002 yang menyatakan tidak ada kerugian negara dan audit BPK 2006 yang menyimpulkan Surat Keterangan Lunas (SKL) layak diberikan.

"Kalau begitu, perbuatan melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain tidak ada. Tidak ada kerugian negara. Di mana unsur pasal 2 UU Tipikor (perbuatan) itu?" seperti yang diberitakan di Akurat, Andi Hamzah lalu menunjuk adanya audit yang baru, yakni audit BPK 2017 yang menyatakan ditemukannya potensi kerugian negara. 

Audit ini tentu menimbulkan kerancuan. "Mana yang dipegang? Apakah yang dulu atau yang sekarang?" Pertanyaan ini dijawabnya sendiri, "Tentu yang dulu! Kan perbuatan dilakukan waktu dulu." Pengutamaan audit 2002 dan 2006  ini selaras dengan keterangan saksi ahli lain  Eva Achjani Zulfa, akademisi dan ahli hukum pidana. 

Seperti diberitakan Inilah, Eva Achjani Zulfa mengatakan hasil pemeriksaan yang paling mendekati tempus delicti (saat tindak pidana dilakukan) yang memiliki nilai pembuktian lebih tinggi. Jadi jika harus dipertentangkan, hasil audit BPK di tahun 2002 dan 2017, hasil audit BPK 2002 memiliki nilai pembuktian lebih tinggi dibandingkan audit di tahun 2017. 

Padahal audit BPK tahun 2017 inilah yang dijadikan dasar menyeret, mempersangka, dan kemudian mendakwa SAT dengan perbuatan memperkaya diri sendiri dan orang lain dan merugikan kerugian negara. Audit ini mendapat sorotan kencang dan dipermasalahkan keabsahannya sebab tidak memenuhi tiga unsur pemeriksaan. 

Unsur pemeriksaan ini adalah: Pertama, laporan hasil pemeriksaan (LHP) harus diterbitkan oleh lembaga berwenang, dalam hal ini BPK, karena harus diterbitkan dalam bentuk keputusan BPK. Kedua, pemeriksaan juga harus memperhatikan dan menjadikan standar pemeriksaan negara sebagai pegangan atau dasar pemeriksaan dengan segala penjelasan di standar pemeriksaan keuangan negara (SPKN). 

Ketiga, harus memperhatikan satu prinsip asas asersi. Asas asersi ini, kata dia, mewajibkan pemeriksa, yakni auditor, memeriksa entitas yang diperiksa. Selain itu, yang diperiksa harus dikonfirmasi tanpa melihat apa pun jenis pemeriksaan yang dilakukan BPK.

Ketiga unsur pemeriksaan inilah yang membuat audit 2017 kontroversial karena disusun atas permintaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan data-data yang telah disiapkan dan disodorkan KPK. Audit ini terasa janggal sebab mengingkari asas asersi, asas pemeriksaan yang tercantum dalam UU BPK. 

Dalam laporan investigasi BPK 2017 ini, BPK juga tidak memeriksa entitas yang diperiksanya. Ibaratnya pemberitaan, audit 2017 tidak bersusah-susah "cover both sides". Ini sempat jadi sorotan berbagai pihak---mereka mempertanyakan metode audit yang sudah dilakukan BPK dan profesionalisme BPK dalam memproses audit tersebut.

"Di mana logikanya kalau BPK sendiri tidak berpegang pada norma UU?" ujar saksi ahli I Gde Pantja Astawa, Guru Besar Universitas Padjadjaran, yang juga merupakan anggota Majelis Kehormatan Kode Etik (MKKE) BPK.

Di muka sidang, terdakwa SAT, penasehat hukumnya, dan saksi-saksi saksi ahli menguji keabsahan audit 2017. Kesimpulannya, audit ini dinilai tidak berimbang, dilakukan secara sepihak, tidak objektif, menyalahi ketentuan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) bahkan UU BPK sendiri. Belum lagi, audit 2017 ini dianggap tidak independen juga tidak konsisten terhadap audit-audit sebelumnya. 

Dalam Gatra, I Gde Pantja Astawa menyatakan penolakannya. "(Kita) harus berani menyatakan audit BPK 2017 itu batal demi hukum." Penolakan dan keraguan dari ketiga ahli, Andi Hamzah, I Gde Pantja Astawa, dan Eva Achjani Zulfapada keabsahan audit BPK 2017 tersebut bisa kita simpulkan dalam dua pertanyaan besar. 

Pertama, kalau tidak ada motif yang ditemukan melatari tindakan Syafruddin Temenggung, apa elemen actus reus dalam perkara ini? Dan yang kedua, kalau unsur tindakan pidana tidak bisa dibuktikan oleh audit BPK tahun 2017, di mana letak tindak pidana yang dilakukan Syafruffin Temenggung? 

Lalu, setelah puluhan saksi dihadirkan, mengapa kedua pertanyaan besar ini tidak juga terjawab?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun