Konsep "produksi massa" budaya Adorno & Horkheimer dengan model algoritmik platform digital saat ini merupakan bentuk tertinggi dari standardisasi.
Produksi Massa menurut Adorno & Horkheimer: Dalam buku Dialectic of Englightenment (1972), memberikan kritikannya terhadap budaya industri. Dengan pemikirannya yang kritis mereka memberikan pandangan bahwa saat ini budaya modern banyak dikuasai oleh komoditas yang diproduksi industri budaya. Menurutnya, kebudayaan dipertontonkan kepada masyarakat hanya sekedar untuk mendapatkan keuntungan tanpa adanya pertimbangan nilai-nilai intrinsik didalamnya. Dia juga mengatakan bahwa pada kebudayaan modern kapitalisme memberikan industrialisasi terhadap segala aspek dalam kehidupan manusia,yang mana ini juga terjadi pada budaya-budaya masyarakat yang sama sekali belum tejamah oleh kelompok elit dari kapitalisme.
Dalam pemikirannya, produk budaya disebarluaskan untuk kepentingan banyak massa, bukan hanya untuk kepentingan elit saja, bagaimana representasi, estetika dan narasinya dibuat untuk dapat memudahkan dan dimengerti dengan mudah oleh kebanyakan khalayak. Â Produk budaya yang ditawarkan dengan variatif bisa dapat kita pilih sesuai dengan yang kita mau, namun masih tetap pada batas-batas yang sudah ditentukan serta produk budaya dijual sebagai bentuk perdagangan bukan hanya sekedar ekpresi otonom.
Disamping itu, dibandingkan dengan algoritma platform digital sekarang, seperti Instagram reels, Tiktok, Spotify, mereka memiliki algoritma-algoritma atau sistem yang membuat kita jadi berlomba-lomba untuk menampilkan berbagai macam konten. Mereka dapat menganalis data yang kita bagikan dengan fitur komentar, like, berbagai gata interaksi pengguna, hasil pencarian, termasuk juga e-commerce. Â Algotirma ini juga memiliki banyak karekteristik seperti adanya trending topik, rekomendasi, personalisasi konten dan lain-lain.
Jadi, menurut saya, pada zaman sekarang yang segala hal sudah mengandalkan teknologi salah satunya platform digtal sebagai bentuk berkomunikasi, berdagang, Â belajar, sebagai sarana hiburan, maka bisa jadi hal ini menjadi standardisasi tertinggi. Karena menggunakan algortima ini mampu memberikan standar yang cukup detail sehingga tidak mungkin dalam industri budaya dapat melakukan ini dengan cepat. Selain itu, algortima ini dapat berubah sesuai dengan pengguna dan mengikusi perkembangan zaman, mereka bisa llebih cepat dan efektid dalam menentukan apa yang disukai pengguna sehingga semakin menguatkan tren-tren yang dapat menguntungkan kelompok homogenitas. Namun disisi lain, platform digital juga menguntungkan pengguna dengan menuntut pengguna lebih kreatif, adanya ruang untuk resitensi, mendapatkan personal brand sehingga membuat pengguna menjadi famous dan banyak pengikut melalui konten-konten yang disebarluaskan apalagi jika konten mengandung sisi positif. Algortima ini juga dapat mepromosikan konten unik jika itu menjadi viral. Jadi sama sama kita lihat algoritma platform digital bisa dikatakan sebagai perluasan dan penguatan yang cukup modern sebagai standardisasi industri budaya, namun dari segi tertinggi atau tidaknya dapat kita ukur dari sisi dominasi budayanya, distribusi, homogenitas, atau adanya ruang variasi dan resistensi. Â Â
 Fitur "rekomendasi" dan "kurasi personal"  dipahami sebagai bentuk pseudoindividualisme yang canggih.Â
Seperti yang kita ketahui, pada platform digital saat ini seperti Tiktok, Youtube, Instagram sudah termasuk kepada pseudoindividualisme yang sangat canggih, sebab mereka memiliki fitur-fitur unik seperti rekomendasi (fot your page) dan kurasi personal (discover weekly) yang mana bertujuan memberikan ilusi kebebasan untuk memlih padahal sejatinya ini sudah diatur, diarahkan oleh algoritma platform itu sendiri sehingga ilusinya konsumsi tersebut menjadi seragam dan disajikan dalam bentuk personal.
Sebelum itu, mari kita bahas apa si pseudoindividualisme itu? Dalam pandangan Theodor W. Adorno, pseudoindividualisme adalah sebuah ilusi yang diciptakan oleh budaya populer, yang terjadi ketika produk massal yang sudah ditargetkan seperti yang terjadi pada platform spotify seperti musik pop, itu sudah tersaji dengan cara seolah-olah itu kita memiliki pilihan bebas untuk mendengarkannya padahal itu hanya sebuah ilusi yang diciptakan oleh algoritma platform tersebut. Contoh Tiktok dengan fitur for your page, selalu mengarahkan kita untuk menonton konten-konten viral  dan membuat kita hanya tertarik pada konten yang sedang viral. Selain itu, youtube dengan fitur rekomendasi, struktur rekomendasi dibentuk dari ketika kita sering menonton vidio dengan satu channel favorite, atau karena trending topik dan popularitas, sehingga ketika menonton konten dengan channel itu saja maka youtube akan selalu merekomendasikan konten yang sama dengan genre yang sama sehingga membuat kita tidak menggunakan platform digital dengan baik sesuai kebutuhan dan membuat kita jarang mengekspos vidio lainnya dan ini salah satu bukti mempersempit pengetahuan dan mengunci pengguna dalam echo chamber. Â
Analisis teori hegemoni Gramsci,  dan peran platform kebudayaan modern  sebagai arena perebutan artikulasi dalam masyarakat sipil.
Â