Kegagalan Indonesia melaju ke putaran berikutnya kualifikasi Piala Dunia bukan sekadar kesalahan seorang pelatih. Ia adalah cermin dari problem struktural yang belum terselesaikan. Seberapa pun hebatnya pelatih yang datang, tanpa fondasi kompetisi domestik yang kuat, sistem pembinaan usia muda yang berkelanjutan, serta tata kelola sepak bola yang profesional, prestasi akan sulit melesat.
Kita bisa belajar dari Jepang atau Korea Selatan. Mereka tidak membangun prestasi instan, tetapi menanam sistem pembinaan yang terukur selama puluhan tahun. Liga domestik mereka dikelola dengan serius, pusat pelatihan modern didirikan, dan akademi pemain muda digerakkan dengan disiplin.
Indonesia, sebaliknya, masih sering tersandung dalam hal konsistensi. Setiap kali berganti pelatih, selalu muncul proyek besar dan jargon baru, namun minim kontinuitas. Ketika hasil buruk datang, pelatih menjadi kambing hitam, sementara akar masalahnya tetap dibiarkan mengendap.
Krisis Identitas Permainan
Salah satu kritik terbesar terhadap era Kluivert adalah hilangnya identitas permainan Timnas. Di era Shin Tae-yong, publik mengenal gaya pressing tinggi dan semangat juang yang membara. Meski kadang terlalu bertahan, ada kejelasan filosofi.
Sebaliknya, di bawah Kluivert, tim sering tampil ragu-ragu—antara bertahan atau menyerang—dan kehilangan ritme. Para pemain tampak kebingungan menerjemahkan instruksi pelatih di lapangan. Akibatnya, permainan Indonesia menjadi mudah ditebak dan rentan terhadap serangan cepat lawan.
Faktor komunikasi juga disebut menjadi hambatan. Perbedaan bahasa dan budaya antara pelatih Eropa dan pemain lokal kerap memunculkan miskomunikasi, terutama dalam penjelasan taktik yang kompleks.Â
Pelajaran dari Kekalahan
Kegagalan memang menyakitkan, tetapi ia juga guru yang berharga. Publik tidak boleh terjebak dalam euforia kemarahan tanpa refleksi. Indonesia harus belajar dari momentum ini untuk membangun kembali peta jalan sepak bola nasional yang realistis dan berkelanjutan.
PSSI perlu mengevaluasi bukan hanya hasil, tetapi juga sistem. Pelatih asing seperti Kluivert bisa menjadi katalis perubahan, asalkan diberi ruang kolaboratif dengan pelatih lokal, bukan berdiri sendiri tanpa dukungan struktur pembinaan.
Kita juga perlu memperkuat kompetisi Liga 1 agar menjadi wadah pembentukan pemain berkualitas. Sebab, tim nasional yang kuat lahir dari liga domestik yang sehat. Selama klub-klub masih berorientasi pada hasil jangka pendek tanpa mengutamakan pembinaan, Timnas hanya akan jadi cermin dari sistem yang rapuh.