Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Tagar #KluivertOut Menggema Usai Timnas Gagal ke Piala Dunia 2026

13 Oktober 2025   07:45 Diperbarui: 13 Oktober 2025   07:50 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kiper Timnas Indonesia, Maarten Paes (kanan) terlibat benturan dengan pemain Iraq, Manaf Younis dalam laga putaran keempat Kualifikasi Piala Dunia 2026 yang berlangsung di Stadion King Abdullah Sports City, Jeddah, Arab Saudi, Sabtu (11/10/2025) waktu setempat. (AP Photo/Ali Issa)

Kegagalan Indonesia melaju ke putaran berikutnya kualifikasi Piala Dunia bukan sekadar kesalahan seorang pelatih. Ia adalah cermin dari problem struktural yang belum terselesaikan. Seberapa pun hebatnya pelatih yang datang, tanpa fondasi kompetisi domestik yang kuat, sistem pembinaan usia muda yang berkelanjutan, serta tata kelola sepak bola yang profesional, prestasi akan sulit melesat.

Kita bisa belajar dari Jepang atau Korea Selatan. Mereka tidak membangun prestasi instan, tetapi menanam sistem pembinaan yang terukur selama puluhan tahun. Liga domestik mereka dikelola dengan serius, pusat pelatihan modern didirikan, dan akademi pemain muda digerakkan dengan disiplin.

Indonesia, sebaliknya, masih sering tersandung dalam hal konsistensi. Setiap kali berganti pelatih, selalu muncul proyek besar dan jargon baru, namun minim kontinuitas. Ketika hasil buruk datang, pelatih menjadi kambing hitam, sementara akar masalahnya tetap dibiarkan mengendap.

Krisis Identitas Permainan

Salah satu kritik terbesar terhadap era Kluivert adalah hilangnya identitas permainan Timnas. Di era Shin Tae-yong, publik mengenal gaya pressing tinggi dan semangat juang yang membara. Meski kadang terlalu bertahan, ada kejelasan filosofi.

Sebaliknya, di bawah Kluivert, tim sering tampil ragu-ragu—antara bertahan atau menyerang—dan kehilangan ritme. Para pemain tampak kebingungan menerjemahkan instruksi pelatih di lapangan. Akibatnya, permainan Indonesia menjadi mudah ditebak dan rentan terhadap serangan cepat lawan.

Faktor komunikasi juga disebut menjadi hambatan. Perbedaan bahasa dan budaya antara pelatih Eropa dan pemain lokal kerap memunculkan miskomunikasi, terutama dalam penjelasan taktik yang kompleks. 

Pelajaran dari Kekalahan

Kegagalan memang menyakitkan, tetapi ia juga guru yang berharga. Publik tidak boleh terjebak dalam euforia kemarahan tanpa refleksi. Indonesia harus belajar dari momentum ini untuk membangun kembali peta jalan sepak bola nasional yang realistis dan berkelanjutan.

PSSI perlu mengevaluasi bukan hanya hasil, tetapi juga sistem. Pelatih asing seperti Kluivert bisa menjadi katalis perubahan, asalkan diberi ruang kolaboratif dengan pelatih lokal, bukan berdiri sendiri tanpa dukungan struktur pembinaan.

Kita juga perlu memperkuat kompetisi Liga 1 agar menjadi wadah pembentukan pemain berkualitas. Sebab, tim nasional yang kuat lahir dari liga domestik yang sehat. Selama klub-klub masih berorientasi pada hasil jangka pendek tanpa mengutamakan pembinaan, Timnas hanya akan jadi cermin dari sistem yang rapuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun