Ketika Patrick Kluivert resmi ditunjuk sebagai pelatih kepala Tim Nasional Indonesia pada 8 Januari 2025, harapan publik sepak bola tanah air membubung tinggi. Sosok legendaris asal Belanda itu datang membawa reputasi besar sebagai mantan bintang Barcelona, AC Milan, dan Ajax Amsterdam. Ia diharapkan mampu melanjutkan tongkat estafet yang ditinggalkan Shin Tae-yong dengan membawa Indonesia menembus level baru: babak kualifikasi Piala Dunia 2026.
Namun, mimpi itu kandas lebih cepat dari yang dibayangkan. Di laga terakhir Ronde 4 Kualifikasi Zona Asia yang digelar Minggu (12/10) dini hari WIB, Indonesia harus mengakui keunggulan tipis Irak dengan skor 0–1. Kekalahan tersebut memastikan Garuda menutup Grup B di dasar klasemen tanpa satu pun poin. Sebelumnya, Indonesia juga tumbang dari Arab Saudi dengan skor 2–3.
Kegagalan ini pun segera memicu gelombang kekecewaan di dunia maya. Tagar #KluivertOut menjadi trending di berbagai platform media sosial. Publik merasa ekspektasi besar yang disematkan pada mantan striker Timnas Belanda itu justru berbalik menjadi catatan kelam dalam sejarah kepelatihan Timnas.
Janji Besar yang Tak Terealisasi
Sejak awal, penunjukan Kluivert menuai optimisme bercampur skeptisisme. Optimisme karena namanya membawa aroma sepak bola Eropa yang modern; skeptisisme karena ia belum pernah menukangi tim nasional di kawasan Asia Tenggara.
Dalam delapan pertandingan resminya bersama Indonesia, Kluivert hanya mencatat tiga kemenangan, satu hasil imbang, dan empat kekalahan. Ironisnya, seluruh kekalahan terjadi di laga tandang—masing-masing melawan Australia, Jepang, Arab Saudi, dan Irak. Di bawah arahannya, lini pertahanan Indonesia kebobolan 15 kali dan hanya mampu mencetak 10 gol.
Kemenangan terbesar, 6–0 atas Taiwan dalam laga FIFA Matchday, sempat memberi harapan. Tetapi kegembiraan itu cepat sirna ketika Indonesia dibantai Jepang 0–6 di Stadium Suita, Osaka, Jepang. Kekalahan itu bukan sekadar soal skor, melainkan juga menunjukkan jurang kualitas yang masih menganga lebar antara Indonesia dan raksasa Asia lainnya.
Kluivert sempat berjanji akan membangun “karakter permainan ofensif berbasis penguasaan bola” seperti gaya total football yang ia kenal sejak muda. Namun di lapangan, visi itu tak kunjung menemukan bentuk. Garuda justru sering tampil tanpa arah, kehilangan kreativitas di lini tengah, dan terlalu bergantung pada serangan balik.
Ekspektasi Publik dan Realitas Kompetisi