Di tengah geliat dunia menuju transisi energi bersih, Indonesia kembali dihadapkan pada persoalan klasik: miskomunikasi. Kali ini, isu tersebut menyeruak dari dapur Pertamina. Polemik muncul setelah publik mengetahui adanya kandungan etanol 3,5 persen dalam bahan bakar (base fuel) yang diimpor oleh perusahaan pelat merah itu. Sekilas, angka tersebut tampak kecil, namun efeknya meluas ke ranah opini publik, menciptakan persepsi bahwa Pertamina tidak sepenuhnya transparan dalam mengungkap komposisi bahan bakar yang dipasarkan.
Isu ini dengan cepat menyebar di ruang digital, memantik perdebatan panjang di kalangan masyarakat, pengamat otomotif, dan pelaku industri energi. Dalam kondisi seperti ini, yang seharusnya menjadi diskursus teknis berbalut ilmiah justru beralih menjadi persoalan persepsi dan kepercayaan publik.
Ketika Fakta Teknis Bertabrakan dengan Persepsi Publik
Pengamat otomotif sekaligus akademisi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Pasaribu, mencoba menenangkan suasana yang kian gaduh. Ia menjelaskan bahwa pencampuran etanol ke dalam bahan bakar minyak (BBM) sebenarnya hal yang lazim dilakukan oleh banyak negara. "Campuran etanol 3,5 persen tidak akan menimbulkan kerusakan pada mesin mobil modern. Bahkan bisa meningkatkan nilai oktan dan memperbaiki efisiensi pembakaran," ujarnya kepada kumparan akhir pekan lalu.
Pernyataan itu, meskipun menenangkan secara teknis, tidak serta merta memadamkan polemik. Yannes kemudian menyoroti inti permasalahan yang sesungguhnya, yakni transparansi. Menurutnya, publik perlu mendapatkan informasi yang jelas dan jujur mengenai komposisi bahan bakar, apalagi jika menyangkut produk yang digunakan secara masif oleh masyarakat luas.
"Polemiknya bukan pada etanolnya, melainkan pada bagaimana Pertamina menjelaskan kandungan base fuel kepada publik dan calon pembelinya. Kalau memang sudah sesuai aturan, seharusnya bisa dikomunikasikan secara terbuka," pungkas Yannes.
Pandangan ini memperlihatkan satu hal mendasar: masalah teknis menjadi besar karena komunikasi yang kurang terbuka. Dalam industri strategis seperti energi, transparansi bukan sekadar etika bisnis, tetapi prasyarat kepercayaan publik.
Etanol: Energi Terbarukan yang Sudah Teruji Dunia
Etanol atau bioetanol sesungguhnya bukan hal baru dalam peta energi global. Bahan bakar ini dihasilkan dari hasil olahan nabati seperti tebu, sorgum, jagung, hingga gandum. Secara ilmiah, etanol berfungsi meningkatkan angka oktan, menekan emisi gas buang, dan memperbaiki proses pembakaran di ruang mesin.
Negara seperti Brasil menjadi contoh nyata keberhasilan pemanfaatan etanol. Sejak 1970-an, Brasil telah menjadikan bioetanol sebagai tulang punggung transisi energi nasionalnya. Kini, sekitar 85 persen kendaraan di negara itu telah menggunakan bahan bakar campuran etanol. Bahkan, pemerintah Brasil mewajibkan setiap stasiun pengisian untuk menyediakan bahan bakar berbasis bioetanol.