Tanggal 5 Oktober 2025 menjadi penanda istimewa dalam perjalanan hidup saya dan istri. Hari itu genap 21 tahun kami mengarungi bahtera rumah tangga sejak menikah pada 5 Oktober 2004 di Kota Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Dua puluh satu tahun bukan sekadar hitungan waktu, melainkan kisah panjang tentang cinta, kesetiaan, dan pengabdian---terutama dalam konteks hidup sebagai keluarga Aparatur Sipil Negara (ASN).
Tulisan ini adalah refleksi, bukan semata perayaan pribadi. Sebab, dalam setiap perjalanan rumah tangga ASN, ada kisah pengorbanan yang jarang terlihat: bagaimana pasangan dan keluarga ikut berpindah, beradaptasi, serta mendampingi dalam setiap tugas negara. Semoga catatan ini bisa menjadi inspirasi, terutama bagi pasangan muda yang sedang menapaki kehidupan rumah tangga.
Awal Sebuah Janji: Sengkang, 2004
Di kota Sengkang, kami mengikat janji suci. Pernikahan itu sederhana namun penuh makna. Kami berkomitmen bukan hanya untuk hidup bersama, tetapi juga siap menghadapi segala tantangan yang mungkin muncul di masa depan. Sebulan setelahnya, janji itu diuji dengan cara yang tak terduga: saya dimutasi ke tanah Papua.
Ujian Pertama: Merantau ke Manokwari, Papua Barat
Hanya sebulan setelah pernikahan, saya menerima tugas di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Manokwari, Provinsi Irian Jaya Barat---kini Papua Barat. Tanpa ragu, istri memutuskan ikut serta. Padahal, ia harus meninggalkan pekerjaan dan keluarga besarnya, kenyamanan, dan segala hal yang akrab baginya.
Manokwari kala itu masih jauh dari modernitas. Fasilitas terbatas, komunikasi masih sulit karena sinyal lemah, dan jarak dengan tanah kelahiran begitu jauh. Namun, justru di situlah kami belajar arti kesederhanaan, kebersamaan, dan keteguhan hati. Istri tidak hanya "mengikuti," tetapi benar-benar "mendampingi." Ia menata rumah tangga di perantauan, memberi ketenangan di tengah tugas negara, dan menjadi tiang kesabaran di setiap keterbatasan.
Jejak Perjalanan Mutasi: Dari Timur ke Barat, Kembali ke Sulawesi
Hidup sebagai ASN berarti siap ditempatkan di mana saja. Setiap surat keputusan mutasi adalah babak baru, bukan hanya bagi pegawai, tetapi juga bagi keluarganya. Berikut jejak perjalanan kami:
KPPN Madiun (2006--2009): Dari Papua ke Jawa Timur, istri yang orang bugis harus belajar hidup di tanah budaya Jawa. Istri kembali beradaptasi dengan lingkungan sosial yang berbeda, menata rumah, dan menjaga ritme keluarga.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!