Pertanyaan ini kerap muncul di ruang publik. Buku apa yang paling relevan untuk pejabat? Jawabannya tentu beragam, tetapi setidaknya ada tiga kategori mendasar.
Pertama, buku kepemimpinan. Bacaan ini penting agar pejabat tidak hanya berorientasi pada gaya, tetapi benar-benar memahami seni memimpin manusia dan organisasi.
Kedua, buku komunikasi publik. Banyak pejabat terjebak dalam pernyataan blunder yang meresahkan rakyat. Membaca buku tentang komunikasi publik akan menuntun mereka agar tidak sekadar "asal bunyi", melainkan mampu menyampaikan pesan dengan jernih, empatik, dan membangun kepercayaan.
Ketiga, buku kebijakan publik. Tanpa pemahaman mendalam, pejabat mudah terjebak pada ide-ide pragmatis yang tidak berakar pada data maupun teori kebijakan. Bacaan semacam ini akan menolong mereka menyusun keputusan berdasarkan analisis, bukan sekadar pertimbangan politik sesaat.
Lebih jauh, karya klasik dalam filsafat, sejarah, maupun ekonomi pembangunan juga wajib dipelajari. Dari situ, pejabat bisa memahami pola perubahan masyarakat, dinamika kekuasaan, dan jalan panjang bangsa-bangsa menuju kemajuan.
Membaca Sebagai Teladan dan Cermin Integritas
Pejabat publik bukan hanya pengambil keputusan, melainkan juga teladan bagi rakyat. Ketika seorang pejabat mengunggah refleksi dari buku yang ia baca, pesan simbolik yang dikirimkan sangat kuat: literasi adalah kebutuhan dasar, bukan kemewahan. Sebaliknya, pejabat yang hanya sibuk memamerkan harta justru mempertegas jarak sosial dengan rakyat yang dipimpinnya.
Di era digital, kesempatan untuk menularkan budaya literasi sebenarnya terbuka lebar. Alih-alih sekadar memamerkan gaya hidup, pejabat bisa menggunakan media sosial untuk menghidupkan budaya membaca. Bayangkan jika setiap pejabat rutin membagikan satu kutipan atau gagasan dari buku yang ia baca. Dampaknya bisa meluas, membangkitkan kembali gairah literasi masyarakat, sekaligus memperbaiki citra pejabat sebagai sosok intelektual yang berpikir mendalam.
Dari Pejabat yang Membaca, Lahir Kebijakan Bernas
Tentu membaca buku bukanlah obat mujarab untuk seluruh persoalan bangsa. Namun, ia adalah fondasi yang tak tergantikan. Pejabat yang rajin membaca akan lebih peka pada kompleksitas masalah, lebih tangguh dalam menghadapi tantangan, dan lebih bijak dalam merumuskan kebijakan.
Sudah saatnya pejabat di negeri ini mengubah orientasi: bukan lagi berlomba dalam pamer kemewahan, melainkan berlomba dalam kualitas pemikiran. Bukan lagi menonjolkan gaya hidup eksklusif, melainkan menampilkan kedekatan dengan literasi. Dari pejabat yang membaca lahirlah kebijakan bernas. Dari pejabat yang berpikir lahirlah pembangunan berkelanjutan.