Di tengah derasnya arus informasi dan deras pula sorotan publik terhadap gaya hidup pejabat, sebuah pertanyaan sederhana namun mendesak patut kita ajukan: seberapa dekat pejabat kita dengan buku? Pertanyaan ini lahir dari kegelisahan kolektif masyarakat. Warganet sering disuguhi potret pejabat yang gemar memamerkan kemewahan: mobil berlapis krom, jam tangan miliaran, atau pesta keluarga penuh gemerlap. Tetapi, nyaris tak pernah kita temui mereka menyinggung buku apa yang sedang dibaca, atau gagasan apa yang tengah dipelajari.
Ironi ini mencerminkan paradoks kepemimpinan di negeri ini. Pejabat dituntut melahirkan gagasan besar dan kebijakan visioner untuk mengarahkan bangsa, namun mereka justru tampak jauh dari sumber inspirasi yang paling mendasar: bacaan. Sejarah berulang kali membuktikan bahwa literasi menjadi kunci lahirnya pemikiran transformatif. Bung Karno, misalnya, mengakui bahwa gagasan nasionalismenya banyak diperkaya oleh buku-buku politik, ekonomi, dan filsafat. Abraham Lincoln menempuh jalan panjang literasi sebagai otodidak. Sementara Lee Kuan Yew tak pernah lepas dari buku untuk merumuskan strategi pembangunan Singapura.
Krisis Literasi di Panggung Kekuasaan
Sayangnya, fenomena yang kita lihat hari ini justru sebaliknya. Pejabat publik lebih sering terjebak pada citra dan pencitraan. Mereka sibuk merespons isu viral ketimbang menyusun agenda kebijakan jangka panjang. Budaya baca seakan hilang dari ruang kekuasaan, tergantikan oleh insting populisme yang dangkal.
Tanpa tradisi membaca, pejabat mudah terjebak dalam kebijakan reaktif. Mereka hanya menanggapi gejolak sesaat, bukannya membangun fondasi kokoh untuk masa depan bangsa. Akibatnya, kebijakan yang lahir bersifat tambal sulam, tidak menyentuh akar masalah, dan kerap gagal menjawab tantangan jangka panjang. Padahal, negara dengan lebih dari 270 juta penduduk ini memerlukan pemimpin yang bukan hanya gesit berbicara, tetapi juga mendalam berpikir.
Buku dan Kapasitas Mengelola Kompleksitas
Mengelola negara bukan perkara sederhana. Ia menuntut pemahaman multidimensi, dari ekonomi digital, geopolitik, perubahan iklim, ketahanan pangan, hingga tata kelola birokrasi. Semua itu tidak mungkin dihadapi hanya dengan intuisi atau kepercayaan diri berlebihan. Dibutuhkan kerangka berpikir yang dibangun melalui proses belajar berkelanjutan.
Membaca buku adalah cara paling sederhana sekaligus paling mendalam untuk mengasah kapasitas intelektual. Buku menyajikan gagasan teruji, pengalaman lintas zaman, dan perspektif luas yang tak dapat diperoleh dari sekadar membaca ringkasan di media sosial. Ketika pejabat enggan membaca, sesungguhnya mereka sedang menutup pintu terhadap kemungkinan lahirnya gagasan besar.
Pertanyaan pun mengemuka: jika membaca satu buku saja sulit, bagaimana pejabat kita bisa mengelola kompleksitas negara selama lima tahun masa jabatan?
Buku Apa yang Wajib Dibaca Pejabat?