Pendidikan adalah fondasi utama dalam membangun bangsa yang berdaulat dan berdaya saing. Di tengah derasnya arus globalisasi, kualitas pendidikan Indonesia kembali menjadi sorotan. Bukan sekadar tentang ketersediaan sekolah dan guru, melainkan tentang bagaimana pembelajaran mampu mengubah anak-anak menjadi generasi hebat yang siap menghadapi masa depan.
Indonesia tengah memasuki periode bonus demografi. Data proyeksi BPS 2023 menunjukkan sekitar 65% penduduk berada dalam usia produktif hingga 2030-an. Bonus ini bisa menjadi peluang emas, tetapi juga bencana demografi bila sistem pendidikan gagal melahirkan generasi unggul. Pertanyaan mendasarnya: apakah pendidikan kita hanya berhenti pada proses mengajar, atau benar-benar mendorong anak menjadi hebat?
Bukan Sekadar Transfer Pengetahuan
Paradigma lama pendidikan kerap dipahami sebatas transfer ilmu dari guru kepada murid. Guru ditempatkan sebagai pusat, sementara murid pasif menerima. Model ini tidak lagi relevan dengan kebutuhan abad ke-21. Anak-anak kini perlu keterampilan berpikir kritis, kreatif, komunikatif, dan mampu berkolaborasi.
Pendidikan bermutu seharusnya mengubah ruang kelas menjadi laboratorium kehidupan. Guru tidak cukup menjadi pengajar, melainkan fasilitator yang mampu menumbuhkan rasa ingin tahu, keberanian bertanya, dan kepercayaan diri murid.
Menyemai Potensi, Bukan Menyeragamkan
Salah satu kelemahan pendidikan kita adalah kecenderungan menyeragamkan anak. Semua dipaksa menempuh kurikulum yang sama, dengan ukuran keberhasilan seragam: nilai ujian. Padahal, teori kecerdasan majemuk yang dikemukakan Howard Gardner menegaskan bahwa kecerdasan tidak hanya soal angka dan logika, tetapi juga seni, musik, gerak, hingga kemampuan sosial.
Pendidikan bermutu harus mengakui keunikan setiap anak. Seorang murid yang piawai menari atau bermusik tidak boleh dianggap kurang berprestasi hanya karena nilai matematikanya di bawah rata-rata. Sekolah justru harus memberi panggung agar anak menemukan dan mengembangkan potensinya masing-masing.
Investasi Negara, Investasi Masa Depan
Kualitas pendidikan erat kaitannya dengan kebijakan negara. Anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN, sebagaimana diamanatkan konstitusi, harus benar-benar dirasakan peserta didik. Tidak hanya untuk pembangunan fisik sekolah, tetapi juga peningkatan kompetensi guru, penyediaan teknologi pendidikan, serta pemerataan akses bagi daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Laporan Kemendikbudristek 2023 mencatat masih puluhan ribu sekolah kekurangan guru berkualitas, terutama di daerah terpencil. Ketimpangan ini harus diatasi agar pendidikan bermutu tidak hanya menjadi hak anak kota besar, tetapi juga anak-anak di pelosok negeri.
Pendidikan yang Membebaskan
Ki Hajar Dewantara menegaskan bahwa pendidikan sejatinya memerdekakan manusia. Prinsip ini sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang kini diterapkan: memberi ruang pada siswa untuk belajar sesuai minat dan potensi. Pendidikan yang membebaskan berarti menumbuhkan daya cipta, bukan mengekang.
Dengan pendidikan semacam ini, anak-anak bukan hanya cerdas akademik, tetapi juga tangguh, berkarakter, dan berdaya juang tinggi. Mereka tidak hanya siap menghadapi ujian sekolah, melainkan juga ujian kehidupan.
Pendidikan untuk Anak Hebat Indonesia
Bangsa ini tidak membutuhkan generasi yang sekadar pintar menghafal, tetapi generasi yang mampu berpikir, berinovasi, dan memimpin masa depan. Pendidikan bermutu adalah jalan menuju anak-anak hebat itu.
Aspirasi pendidikan bermutu untuk semua bukan sekadar slogan, melainkan komitmen nyata. Kita butuh guru yang menginspirasi, sistem yang memerdekakan, serta negara yang konsisten berinvestasi pada pendidikan. Hanya dengan itulah Indonesia dapat memastikan anak-anaknya tidak sekadar diajar, tetapi didorong untuk menjadi hebat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI