Dunia kerja modern kembali diguncang sebuah istilah baru yang diam-diam tengah menggerogoti produktivitas dan kesehatan mental pekerja: quiet cracking. Fenomena ini muncul setelah perbincangan hangat soal quiet quitting sempat mendominasi wacana ketenagakerjaan global. Jika quiet quitting menggambarkan sikap karyawan yang memilih bekerja sebatas kewajiban tanpa memberi lebih, maka quiet cracking lebih subtil: sebuah keretakan psikologis yang pelan namun terus menerus mengikis kepuasan kerja.
Retakan itu tidak terdengar, tidak terlihat jelas, namun cukup kuat untuk melemahkan fondasi motivasi seorang karyawan. Mereka tetap hadir di kantor, tetap mengerjakan tugas, tetapi tanpa semangat, tanpa gairah, bahkan tanpa merasa punya alasan untuk bertumbuh.
Fenomena Baru di Dunia Kerja
Istilah quiet cracking diperkenalkan oleh TalentLMS, sebuah lembaga riset ketenagakerjaan global, untuk menggambarkan kondisi ketika pekerja kehilangan makna dalam pekerjaannya. Tidak ada drama, tidak ada pengunduran diri mendadak, tidak ada teriakan protes. Yang ada hanyalah retakan sunyi dalam bentuk menurunnya motivasi, keterlibatan, dan kepuasan kerja.
Fenomena ini ibarat kaca yang perlahan retak. Awalnya hanya garis tipis, hampir tak kasatmata. Namun jika dibiarkan, retakan itu akan melebar, menggerogoti hingga akhirnya memecahkan seluruh permukaan. Begitu pula dengan kepuasan kerja---jika tidak diperhatikan, retakan kecil bisa berkembang menjadi keruntuhan besar, baik bagi individu maupun organisasi.
Gejala yang Sulit Disadari
Quiet cracking tidak menampakkan gejala sejelas burnout. Tidak ada kelelahan ekstrem yang membuat seseorang tumbang. Tidak ada sikap frontal seperti mogok kerja. Justru di situlah bahayanya.
Gejala yang paling sering muncul adalah: