Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Cracking: Retakan Sunyi Kepuasan Kerja yang Menghantui Kantor Modern

19 Agustus 2025   07:30 Diperbarui: 18 Agustus 2025   21:09 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:Quiet cracking mengintai kantor modern: retakan sunyi yang menurunkan motivasi, produktivitas, dan loyalitas karyawa (Foto: freepik.com)

Menurunnya produktivitas: target masih tercapai, tetapi tanpa kualitas.

  • Hilangnya keterlibatan emosional: pekerjaan tidak lagi memberi makna.

  • Mereka yang mengalami quiet cracking sering kali tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam jurang perlahan ini. Begitu pula perusahaan, yang sering salah mengartikan diam sebagai tanda stabilitas. Padahal, di balik keheningan itu ada perasaan retak yang menunggu pecah.

    Skala Masalah Global

    Fenomena ini bukan isapan jempol. TalentLMS mencatat bahwa lebih dari separuh pekerja di berbagai negara melaporkan mengalami gejala quiet cracking. Bahkan, 20 persen di antaranya mengaku merasakannya secara konsisten. Laporan Gallup mencatat keterikatan karyawan global turun ke 21% pada 2024---kedua kalinya turun sejak 2009---dengan kerugian produktivitas dunia diperkirakan US$438 miliar. Penurunan paling tajam terjadi pada manajer: dari 30% menjadi 27%. Ketika para pengelola tim sendiri kelelahan dan kehilangan energi, efek rambatannya menjalar ke lini terdepan.

    Artinya, mayoritas pekerja kini berada dalam kondisi abu-abu: hadir, bekerja, tetapi kosong secara emosional. Di Amerika Utara, angka ketidakpedulian kerja mencapai 52 persen. Sebuah alarm serius bagi dunia korporasi global.

    Akar Masalah yang Mengakar

    Mengapa quiet cracking muncul? Ada beberapa akar yang bisa ditelusuri:

    1. Monotoni kerja -- pekerjaan yang rutin tanpa tantangan baru membuat karyawan merasa terjebak.

    2. Minim penghargaan -- ketika usaha tak pernah diapresiasi, motivasi perlahan terkikis.

    3. Budaya kerja toksik -- lingkungan yang menekan output tanpa peduli kesejahteraan mental membuat pekerja kehilangan makna.

    4. HALAMAN :
      1. 1
      2. 2
      3. 3
      4. 4
      Mohon tunggu...

      Lihat Konten Worklife Selengkapnya
      Lihat Worklife Selengkapnya
      Beri Komentar
      Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

      Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
    LAPORKAN KONTEN
    Alasan
    Laporkan Konten
    Laporkan Akun