Menurunnya produktivitas: target masih tercapai, tetapi tanpa kualitas.
Hilangnya keterlibatan emosional: pekerjaan tidak lagi memberi makna.
Mereka yang mengalami quiet cracking sering kali tidak menyadari bahwa dirinya sedang berada dalam jurang perlahan ini. Begitu pula perusahaan, yang sering salah mengartikan diam sebagai tanda stabilitas. Padahal, di balik keheningan itu ada perasaan retak yang menunggu pecah.
Skala Masalah Global
Fenomena ini bukan isapan jempol. TalentLMS mencatat bahwa lebih dari separuh pekerja di berbagai negara melaporkan mengalami gejala quiet cracking. Bahkan, 20 persen di antaranya mengaku merasakannya secara konsisten. Laporan Gallup mencatat keterikatan karyawan global turun ke 21% pada 2024---kedua kalinya turun sejak 2009---dengan kerugian produktivitas dunia diperkirakan US$438 miliar. Penurunan paling tajam terjadi pada manajer: dari 30% menjadi 27%. Ketika para pengelola tim sendiri kelelahan dan kehilangan energi, efek rambatannya menjalar ke lini terdepan.
Artinya, mayoritas pekerja kini berada dalam kondisi abu-abu: hadir, bekerja, tetapi kosong secara emosional. Di Amerika Utara, angka ketidakpedulian kerja mencapai 52 persen. Sebuah alarm serius bagi dunia korporasi global.
Akar Masalah yang Mengakar
Mengapa quiet cracking muncul? Ada beberapa akar yang bisa ditelusuri:
Monotoni kerja -- pekerjaan yang rutin tanpa tantangan baru membuat karyawan merasa terjebak.
Minim penghargaan -- ketika usaha tak pernah diapresiasi, motivasi perlahan terkikis.
Budaya kerja toksik -- lingkungan yang menekan output tanpa peduli kesejahteraan mental membuat pekerja kehilangan makna.
-
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!