Persoalan bertambah pelik ketika nanti suatu saat ada petugas dari LMKN datang melakukan sidak. Kasus-kasus pemanggilan hukum terhadap pemilik kafe karena dianggap melanggar hak cipta mulai bermunculan. Ini menciptakan efek psikologis: kekhawatiran akan terkena denda hingga puluhan juta rupiah karena sekadar memutar lagu tanpa lisensi.
Antara Hak Cipta dan Hak Usaha
Tak bisa dimungkiri, perlindungan hak cipta adalah keniscayaan dalam ekosistem musik yang sehat. Para pencipta lagu dan musisi berhak memperoleh imbal balik dari karya yang mereka hasilkan. Namun, implementasinya di lapangan acap kali timpang.
Sebagian pelaku usaha mengeluhkan transparansi tarif, proses pembayaran yang berbelit, hingga kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Sementara itu, LMKN dan Kementerian Hukum dan HAM berargumen bahwa sistem manajemen royalti justru memudahkan.
Di sinilah negara seharusnya hadir sebagai fasilitator, bukan hanya regulator. Dialog antara pelaku usaha dan pengelola hak cipta mesti lebih terbuka, setara, dan terintegrasi. Sebab jika tidak, yang terjadi justru penghindaran atau pembangkangan diam-diam.
Apa Kata Pelanggan?
Survei kecil yang dilakukan oleh beberapa komunitas kopi dan warganet menunjukkan hasil yang menarik. Sekitar 52% responden menyukai kafe yang memutar musik, 34% lebih suka yang hening, dan sisanya tidak peduli selama kopinya enak.
Artinya, selera memang terbagi. Tapi, jika terlalu banyak kafe memilih "diam" karena takut royalti, maka bisa jadi pengalaman sosial dan estetika di banyak kafe akan ikut memudar.
Bayangkan kafe-kafe legendaris di Yogyakarta, Bandung, atau Jakarta yang biasanya lekat dengan suasana musik akustik atau live session, kini hanya terdengar suara mesin espresso dan sendok yang beradu dengan cangkir. Sunyi bukan selalu tenang. Bisa jadi, itu tanda kematian kreativitas ruang.
Menuju Skema yang Lebih Adil