Di banyak kota besar Indonesia, kafe bukan sekadar tempat menikmati secangkir kopi. Ia menjelma menjadi ruang sosial, tempat bertemunya ide, obrolan ringan, bahkan kerja-kerja kreatif.Â
Tak heran bila desain interior, kualitas seduhan, hingga suasana akustik jadi perhatian utama. Namun di tengah tren itu, muncul satu pertanyaan sederhana tapi penting: lebih suka kafe yang ada musik atau yang hening?
Pertanyaan ini, yang tampaknya sekadar preferensi pribadi, ternyata kini bersentuhan dengan persoalan hukum dan ekonomi: pembayaran royalti lagu.
Musik di Kafe: Antara Nuansa dan Tuntutan
Bagi sebagian orang, musik adalah nyawa sebuah kafe. Alunan jazz, instrumental pop, atau balada indie bisa mengubah suasana jadi lebih hangat dan nyaman. Musik bahkan dipercaya meningkatkan waktu tinggal pengunjung---mendorong mereka memesan lebih banyak.
Namun, sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik, dan diperkuat dengan keberadaan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), pemilik kafe wajib membayar royalti untuk setiap lagu yang diputar di ruang publik, termasuk kafe, hotel, dan restoran.
LMKN telah menyediakan skema tarif berdasarkan luas tempat, jenis penggunaan, dan lokasi usaha. Untuk kafe menengah, royalti tahunan bisa mencapai jutaan rupiah. Meski jumlah ini tak seberapa dibanding omzet tahunan, namun tetap menjadi beban tambahan, terutama bagi pelaku UMKM yang baru bangkit pasca pandemi.
Dilema Pengusaha Kafe
Sebagian pengusaha kafe memilih solusi aman: menghilangkan musik sama sekali, mengganti playlist dengan suara alam, atau membiarkan ruangan tetap hening. Beberapa lainnya memilih memainkan lagu bebas lisensi dari platform digital. Namun tak semua pengunjung nyaman dengan itu.
Ada pelanggan yang komplain karena suasana terlalu sunyi, bahkan kikuk. Tapi ada pula yang justru memilih kafe hening untuk bekerja, berdiskusi, atau menikmati waktu tanpa distraksi.