Ada banyak kisah kemanusiaan yang bergulir di sela-sela meja dagangan. Seorang ibu paruh baya yang bertahan menjual sayur meski suaminya sakit-sakitan.Â
Seorang pemuda yang menjadikan hasil jualan ikan sebagai modal kuliah. Bahkan kisah asmara yang bermula dari tatapan pertama di kios bumbu dapur. Semua itu tidak tercatat dalam statistik, tapi menjadi bagian tak terpisahkan dari denyut kehidupan pasar.
Cerita-cerita ini penting, sebab ia memberi wajah manusiawi pada aktivitas ekonomi yang sering kali dipandang kaku. Pasar bukan hanya urusan angka dan laba, melainkan juga tentang perjuangan, harapan, dan cinta.
Tantangan Zaman dan Harapan Masa Depan
Meski terus bertahan, Pasar Palakka tidak luput dari tantangan. Persaingan dengan toko modern, minimnya fasilitas sanitasi, hingga generasi muda yang semakin enggan menjadi pedagang pasar menjadi persoalan yang harus dijawab bersama.Â
Diperlukan inovasi kebijakan dari pemerintah daerah, penguatan koperasi pasar, serta digitalisasi sistem informasi pasar untuk meningkatkan daya saingnya.
Namun, harapan tetap ada. Komunitas pedagang Pasar Palakka kini mulai dilibatkan dalam pelatihan manajemen keuangan dan pemasaran digital.Â
Beberapa kios bahkan sudah menggunakan pembayaran nontunai. Generasi muda pun mulai melirik peluang bisnis kreatif berbasis pasar tradisional---dari produk kuliner khas hingga konten digital yang mengangkat cerita pasar.
Menjaga Nadi Peradaban Lokal
Pasar Palakka bukan hanya milik Bone, tetapi juga milik kita semua yang percaya bahwa warisan budaya tak boleh dikubur oleh beton-beton mal yang melenakan. Ia adalah nadi peradaban lokal, tempat di mana ekonomi, budaya, sejarah, dan kemanusiaan bertemu dalam harmoni.
Menjaga pasar ini berarti menjaga identitas dan keberlanjutan hidup masyarakat Bone. Dan dalam konteks yang lebih luas, menjaga pasar tradisional berarti menjaga ke-Indonesia-an kita yang sesungguhnya---berakar di tanah, berpijak pada tradisi, dan terbuka pada perubahan.