Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Ukuran Kaya dan Miskin Tak Lagi Sama: Memahami Standar Ganda dalam Realitas Sosial Kita

1 Agustus 2025   09:00 Diperbarui: 31 Juli 2025   15:37 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: Memahami perbedaan standar hidup bisa jadi kunci menjaga empati dan keadilan sosial kita bersama (Foto by https://chatgpt.com)

Pada sebuah perbincangan ringan di warung kopi, ada seorang buruh harian berkata sambil tersenyum getir, “Kalau saya bisa makan tiga kali sehari dan bisa bayar kontrakan, itu sudah kaya buat saya.” Tak jauh dari tempat yang sama, di gedung ber-AC dengan lantai marmer mengilap, seorang eksekutif muda mengeluh di media sosial: “Gaji 20 juta sebulan sekarang rasanya tetap miskin. Harga rumah melambung, gaya hidup menuntut.” Dua narasi itu sama-sama valid—dan keduanya menampar kesadaran kita akan satu kenyataan: ukuran kekayaan dan kemiskinan tak lagi tunggal.

Dalam masyarakat yang terus berkembang, terutama di negara seperti Indonesia yang sedang bertumbuh dengan kompleksitas sosial-ekonomi, definisi kaya dan miskin menjadi sesuatu yang cair. Satu keluarga merasa berkecukupan meski hidup dari hasil bertani di desa, sementara keluarga lain di perkotaan merasa terus kekurangan meskipun memiliki dua mobil dan rumah di kawasan premium. Lalu, benarkah ada standar yang adil dan seragam untuk menentukan siapa yang “kaya” dan siapa yang “miskin”?

Relativitas Kekayaan: Sebuah Fakta Sosial

Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, pernah mengatakan bahwa kekayaan tidak hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang akses terhadap modal sosial dan kultural. Artinya, seseorang bisa saja memiliki uang tetapi tidak punya koneksi atau akses terhadap kesempatan-kesempatan penting. Sebaliknya, ada yang punya jejaring luas yang menjadikan hidupnya lebih “kaya” dalam pengertian sosial.

Di Indonesia, standar kaya-miskin sering kali diseragamkan oleh media atau institusi formal seperti BPS (Badan Pusat Statistik) yang menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum. Namun dalam praktik sosial, ukuran itu seringkali dibelokkan oleh persepsi masyarakat. Seorang influencer media sosial dengan ribuan pengikut bisa dianggap “kaya” walaupun ia masih berjuang membayar cicilan tiap bulan. Sebaliknya, petani yang hidup sederhana tapi bahagia dan mandiri kerap dianggap “miskin” hanya karena tidak punya akun media sosial atau domisili di perkotaan.

Miskin Finansial vs. Miskin Mentalitas

Ada hal yang perlu dibedakan secara tajam: miskin secara finansial dan miskin secara mentalitas. Yang pertama adalah fakta struktural yang harus diatasi melalui kebijakan publik, redistribusi aset, dan keadilan ekonomi. Yang kedua adalah kondisi psikologis yang lebih personal, yang sering kali membentuk pola konsumsi berlebihan dan rasa tak pernah cukup.

Perbedaan standar ini muncul dari interaksi kompleks antara sistem ekonomi, ekspektasi sosial, dan konstruksi media. Tak heran jika kemudian masyarakat kerap terjebak dalam ilusi status, membandingkan diri terus-menerus dengan standar yang tidak realistis.

Kita hidup dalam era paradoks: orang merasa “miskin” karena tidak bisa liburan ke luar negeri atau membeli ponsel terbaru, padahal masih banyak saudara sebangsa yang kesulitan mendapat air bersih atau akses pendidikan dasar. Inilah tantangan zaman yang memaksa kita untuk memaklumi bahwa standar “cukup” setiap orang memang tidak sama.

Mengembangkan Empati Sosial di Tengah Ketimpangan

Memahami bahwa standar kaya dan miskin berbeda-beda bukan berarti kita menormalkan ketimpangan atau bersikap pasif terhadap ketidakadilan. Justru dari pemahaman ini kita bisa memulai langkah-langkah kecil untuk membangun empati sosial.

Memaklumi bukan berarti menyerah, tetapi memahami realitas dari berbagai sudut. Seorang pejabat negara mungkin merasa penghasilannya “pas-pasan” karena harus menanggung beban sosial, membantu kerabat, dan menjaga penampilan. Tapi pemakluman seperti ini tidak boleh mengaburkan kewajiban negara dalam menjamin pemerataan kesejahteraan. Kita harus jernih membedakan antara empati dan pembenaran terhadap privilege yang berlebihan.

Kita juga perlu menyadari bahwa dalam dunia yang kian terpolarisasi oleh ekonomi digital, gaya hidup konsumtif, dan ketimpangan akses, pendidikan menjadi senjata paling ampuh untuk mempersempit jurang ini. Pendidikan yang menanamkan nilai kesederhanaan, gotong royong, dan keadilan sosial perlu ditumbuhkan sejak dini.

Kritik yang Konstruktif, Bukan Cemooh Sinis

Di media sosial, sering kali kita menemukan sindiran sinis terhadap gaya hidup orang-orang tertentu. “Katanya miskin, tapi HP-nya iPhone,” atau “Katanya susah, tapi tiap minggu staycation.” Padahal, mungkin itu hasil tabungan selama berbulan-bulan, atau bentuk kebahagiaan kecil yang dibeli dengan penuh pengorbanan.

Kritik sosial seharusnya diarahkan ke sistem, bukan individu. Jika subsidi salah sasaran, jika korupsi masih terjadi, jika kesenjangan makin dalam, maka itulah yang harus dikritik keras. Namun, mencemooh individu karena pilihan hidupnya tanpa memahami konteks personalnya adalah bentuk empati yang mati.

Menutup dengan Kesadaran: Siapa Kita untuk Menstandarkan Orang Lain?

Akhirnya, kita perlu bertanya pada diri sendiri: siapa kita sehingga merasa berhak mengukur kemiskinan atau kekayaan orang lain? Apakah kita sudah benar-benar tahu perjuangan hidup mereka? Apakah kita siap ditakar dengan standar yang sama?

Memaklumi perbedaan standar bukan berarti menafikan realitas. Tetapi justru dari pemakluman itu, tumbuhlah rasa hormat, solidaritas, dan dorongan untuk memperjuangkan keadilan yang lebih substansial. Dalam masyarakat majemuk seperti Indonesia, empati sosial yang dilandasi pemahaman akan keragaman standar hidup adalah kunci untuk menjaga kohesi sosial.

Bukan soal berapa banyak yang kita punya, tetapi seberapa bijak kita menyikapi apa yang dimiliki—dan bagaimana kita memandang apa yang dimiliki orang lain.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun