Pada sebuah perbincangan ringan di warung kopi, ada seorang buruh harian berkata sambil tersenyum getir, “Kalau saya bisa makan tiga kali sehari dan bisa bayar kontrakan, itu sudah kaya buat saya.” Tak jauh dari tempat yang sama, di gedung ber-AC dengan lantai marmer mengilap, seorang eksekutif muda mengeluh di media sosial: “Gaji 20 juta sebulan sekarang rasanya tetap miskin. Harga rumah melambung, gaya hidup menuntut.” Dua narasi itu sama-sama valid—dan keduanya menampar kesadaran kita akan satu kenyataan: ukuran kekayaan dan kemiskinan tak lagi tunggal.
Dalam masyarakat yang terus berkembang, terutama di negara seperti Indonesia yang sedang bertumbuh dengan kompleksitas sosial-ekonomi, definisi kaya dan miskin menjadi sesuatu yang cair. Satu keluarga merasa berkecukupan meski hidup dari hasil bertani di desa, sementara keluarga lain di perkotaan merasa terus kekurangan meskipun memiliki dua mobil dan rumah di kawasan premium. Lalu, benarkah ada standar yang adil dan seragam untuk menentukan siapa yang “kaya” dan siapa yang “miskin”?
Relativitas Kekayaan: Sebuah Fakta Sosial
Sosiolog Prancis, Pierre Bourdieu, pernah mengatakan bahwa kekayaan tidak hanya tentang ekonomi, tetapi juga tentang akses terhadap modal sosial dan kultural. Artinya, seseorang bisa saja memiliki uang tetapi tidak punya koneksi atau akses terhadap kesempatan-kesempatan penting. Sebaliknya, ada yang punya jejaring luas yang menjadikan hidupnya lebih “kaya” dalam pengertian sosial.
Di Indonesia, standar kaya-miskin sering kali diseragamkan oleh media atau institusi formal seperti BPS (Badan Pusat Statistik) yang menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan pengeluaran minimum. Namun dalam praktik sosial, ukuran itu seringkali dibelokkan oleh persepsi masyarakat. Seorang influencer media sosial dengan ribuan pengikut bisa dianggap “kaya” walaupun ia masih berjuang membayar cicilan tiap bulan. Sebaliknya, petani yang hidup sederhana tapi bahagia dan mandiri kerap dianggap “miskin” hanya karena tidak punya akun media sosial atau domisili di perkotaan.
Miskin Finansial vs. Miskin Mentalitas
Ada hal yang perlu dibedakan secara tajam: miskin secara finansial dan miskin secara mentalitas. Yang pertama adalah fakta struktural yang harus diatasi melalui kebijakan publik, redistribusi aset, dan keadilan ekonomi. Yang kedua adalah kondisi psikologis yang lebih personal, yang sering kali membentuk pola konsumsi berlebihan dan rasa tak pernah cukup.
Perbedaan standar ini muncul dari interaksi kompleks antara sistem ekonomi, ekspektasi sosial, dan konstruksi media. Tak heran jika kemudian masyarakat kerap terjebak dalam ilusi status, membandingkan diri terus-menerus dengan standar yang tidak realistis.
Kita hidup dalam era paradoks: orang merasa “miskin” karena tidak bisa liburan ke luar negeri atau membeli ponsel terbaru, padahal masih banyak saudara sebangsa yang kesulitan mendapat air bersih atau akses pendidikan dasar. Inilah tantangan zaman yang memaksa kita untuk memaklumi bahwa standar “cukup” setiap orang memang tidak sama.
Mengembangkan Empati Sosial di Tengah Ketimpangan