Tak banyak kota di Indonesia yang menyimpan warisan sejarah selengkap Makassar. Di antara riuh pelabuhan, geliat kuliner, dan denyut urbanisasi Sulawesi Selatan, berdiri satu bangunan monumental yang telah menjadi saksi bisu pergeseran sejarah bangsa: Benteng Fort Rotterdam.
Benteng ini bukan hanya peninggalan arsitektural dari masa kolonial. Ia adalah penyambung ingatan kolektif tentang bagaimana masyarakat maritim Nusantara, khususnya di wilayah timur Indonesia, membangun jejaring kuasa, mempertahankan identitas, dan pada akhirnya, menghadapi tekanan kolonialisme yang terstruktur dan sistematis. Fort Rotterdam adalah wajah Makassar lama yang masih menatap keras ke masa depan Indonesia yang berdaulat, bermartabat, dan berbasis akar budaya.
Dari Benteng Ujung Pandang ke Fort Rotterdam: Jejak Kesultanan Gowa
Sebelum dikenal sebagai Fort Rotterdam, benteng ini memiliki nama asli Benteng Ujung Pandang, dibangun pada 1545 oleh Raja Gowa ke-10, I Manrigau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tumapa’risi’ Kallonna. Bahan bakunya diambil dari batu karang laut, mencerminkan kearifan lokal masyarakat Makassar dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Sebagai pusat pertahanan Kerajaan Gowa-Tallo, benteng ini berfungsi strategis dalam menjaga kedaulatan jalur laut Nusantara. Kala itu, Makassar adalah pelabuhan bebas terbesar di timur Indonesia, menjadi simpul perdagangan antara pelaut Bugis, Buton, Ternate, Jawa, hingga Portugis dan Cina. Kesultanan Gowa yang berhaluan Islam menjadikan benteng ini bukan hanya pos militer, melainkan pusat kekuasaan ekonomi dan diplomasi regional.
Namun semua berubah pada abad ke-17, ketika VOC mulai memperluas dominasi perdagangannya di Nusantara. Setelah kekalahan Sultan Hasanuddin dalam Perjanjian Bongaya tahun 1667, benteng diserahkan kepada Belanda dan namanya diubah menjadi Fort Rotterdam, sebagai simbol kekuasaan kolonial dan penghapusan identitas lokal.
Benteng Penjara dan Basis Pengawasan VOC
Sejak itu, Fort Rotterdam menjadi pusat kekuasaan VOC di kawasan timur Indonesia. Di dalamnya berdiri kantor administrasi, barak tentara, gudang logistik, hingga penjara. Salah satu tokoh penting yang pernah mendekam di sini adalah Pangeran Diponegoro, pemimpin Perang Jawa (1825–1830), yang diasingkan ke Makassar oleh Belanda setelah ditangkap secara licik.
Ruangan sempit dan gelap tempat Diponegoro dipenjara hingga wafatnya pada 1855 masih terpelihara. Ruang itu kini menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan, menegaskan bahwa benteng ini menyimpan lebih dari sekadar struktur kolonial—ia menyimpan luka sejarah yang menjadi bagian dari pembentukan identitas nasional.
Selain sebagai penjara politik, Fort Rotterdam juga dijadikan basis pengawasan terhadap pelayaran lokal. VOC menerapkan kebijakan kontrol ketat atas perdagangan rempah dan jalur pelayaran, menjadikan Fort Rotterdam sebagai "mata dan telinga" Batavia di Indonesia timur.