Di tengah ketidakpastian global dan tuntutan pembangunan domestik yang semakin kompleks, pembiayaan anggaran negara tidak bisa lagi berpijak pada cara-cara lama. APBN bukan sekadar instrumen fiskal, tetapi menjadi jantung dari visi besar Indonesia untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan keberlanjutan pembangunan lintas generasi.
Pemerintah menyadari bahwa pengeluaran rutin dan pembiayaan konvensional tidak cukup menjawab tantangan era transformasi. Oleh karena itu, kebijakan pembiayaan diarahkan untuk mendukung agenda transformasi ekonomi, dengan fokus pada penguatan infrastruktur TIK, energi baru terbarukan, konektivitas nasional, kawasan industri, dan kawasan ekonomi khusus. Tujuannya jelas: membangun fondasi kuat untuk Indonesia Emas 2045.
Pembiayaan sebagai Instrumen Transformasi
Pembiayaan anggaran bukan sekadar untuk menutup defisit. Lebih dari itu, pembiayaan menjadi alat strategis untuk memobilisasi sumber daya ekonomi secara produktif. Dalam RUU APBN 2025, kebijakan pembiayaan diarahkan untuk menjawab kebutuhan jangka panjang pembangunan, antara lain melalui skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) yang lebih masif dan berkelanjutan.
KPBU menjadi jembatan antara kebutuhan investasi besar dan keterbatasan fiskal negara. Proyek-proyek infrastruktur yang sebelumnya membebani APBN, kini dapat dibiayai melalui skema berbasis kemitraan, dengan prinsip value for money dan transfer risiko ke sektor swasta. Dengan demikian, APBN tetap sehat, sementara proyek strategis tetap berjalan.
Di sisi lain, pembiayaan juga menyentuh aspek keberlanjutan melalui dorongan terhadap proyek-proyek hijau. Instrumen seperti green bonds dan sukuk berkelanjutan menjadi alternatif baru dalam kerangka pembiayaan pembangunan yang ramah lingkungan.
Pendalaman Pasar Keuangan dan Peran Lembaga Khusus
Pemerintah juga mendorong pendalaman pasar keuangan sebagai bagian dari strategi pembiayaan jangka panjang. Pasar keuangan yang dalam, likuid, dan inklusif akan memungkinkan lebih banyak instrumen pembiayaan jangka panjang dikembangkan, dari sukuk ritel hingga instrumen derivatif yang mendukung manajemen risiko fiskal.
Tak kalah penting, optimalisasi peran lembaga-lembaga khusus seperti Badan Layanan Umum (BLU), Special Mission Vehicles (SMV), dan Sovereign Wealth Fund (SWF) seperti Indonesia Investment Authority (INA) menjadi katalis pembiayaan pembangunan.
BLU dapat menjembatani layanan publik dengan efisiensi manajerial ala swasta. SMV seperti PT SMI dan LPEI memiliki fleksibilitas dan mandat khusus untuk mendorong pembiayaan sektor infrastruktur dan ekspor. Sementara SWF melalui INA dapat menarik investasi global untuk mendanai proyek-proyek strategis tanpa menambah beban utang negara.