Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Selingkuh Tak Bisa Diobati? Sebuah Telaah Sosial, Psikologis, dan Kultural

21 Juli 2025   10:20 Diperbarui: 21 Juli 2025   10:18 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:  Selingkuh, sejatinya, bukan takdir---melainkan keputusan (Foto: Freepik.com)

Fenomena perselingkuhan ibarat gelombang laut yang tak pernah berhenti. Muncul dalam sunyi, menghantam dengan gemuruh. Ia bukan barang baru dalam kehidupan manusia, tetapi selalu menyisakan luka yang tak kunjung sembuh. Lantas, ketika seseorang berselingkuh, adakah harapan untuk sembuh? Ataukah ini semacam "penyakit" yang tak bisa diobati?

Pertanyaan itu kini makin relevan di tengah masyarakat yang terhubung secara digital namun semakin renggang secara emosional. Tayangan infotainment, kasus viral selebritas, hingga pengakuan anonim di media sosial seolah menyuarakan satu hal: selingkuh itu biasa. Tetapi, benarkah sebiasa itu?

Lebih dari Sekadar "Main Hati"

Selingkuh bukan hanya tentang tubuh yang berpindah, tetapi tentang hati yang berpaling. Ia bisa muncul dari ketidakpuasan emosional, luka pengasuhan, keinginan untuk validasi, atau bahkan kebiasaan destruktif yang tidak pernah dikritisi. Dalam kacamata psikologi, perselingkuhan kerap berakar dari ketidakmampuan individu mengenali dan mengelola perasaannya sendiri.

Bagi sebagian pelaku, selingkuh menjadi cara mencari pelampiasan atau penghiburan dari relasi yang hambar. Namun bagi yang lain, ini adalah bentuk sabotase terhadap kebahagiaan yang sulit diterima. Dalam istilah psikologi populer, ini mirip dengan self-sabotage: merusak sesuatu yang baik karena merasa tidak layak mendapatkannya.

Bukan Soal Cinta, Tapi Kontrol

Menariknya, banyak perselingkuhan terjadi bukan karena pasangan tak lagi mencintai pasangannya, tetapi karena mereka ingin merasa berkuasa. Kekuasaan itu bisa berbentuk atensi, kontrol emosional, atau pengaruh atas orang lain. Di sinilah perselingkuhan menjelma sebagai permainan ego yang tak sederhana.

Dalam banyak penelitian, kecenderungan berselingkuh juga dipengaruhi faktor kepribadian. Mereka yang cenderung narsistik, impulsif, atau memiliki masalah dengan empati, lebih rentan tergoda. Apalagi jika lingkungan sosialnya permisif, atau bahkan mendukung perilaku menyimpang itu secara diam-diam.

Apakah Bisa Disembuhkan?

Pertanyaan ini menuntut kita jujur pada satu hal: apakah pelaku selingkuh ingin berubah? Karena pada dasarnya, tidak ada terapi atau obat yang efektif tanpa kemauan kuat dari individu itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun