Mohon tunggu...
Benny Eko Supriyanto
Benny Eko Supriyanto Mohon Tunggu... Aparatur Sipil Negara (ASN)

Hobby: Menulis, Traveller, Data Analitics, Perencana Keuangan, Konsultasi Tentang Keuangan Negara, dan Quality Time With Family

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

"Jangan Lawan Orang Baik. Yang Kedua, Jangan Lawan Orang Cantik. Kalah Kau Sama Orang Itu"

20 Juli 2025   07:30 Diperbarui: 19 Juli 2025   13:43 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bambang Wuryanto---yang akrab disapa Bambang Pacul (Foto: Instagram @akubacacom)

"Jangan lawan orang baik. Yang kedua, jangan lawan orang cantik. Kalah kau sama orang itu".


Begitulah kira-kira petikan ucapan Bambang Wuryanto---yang akrab disapa Bambang Pacul---dalam sebuah kesempatan wawancara yang viral dan menjadi buah bibir. Ucapan itu, jika dipandang sepintas, mungkin terdengar sebagai guyonan khas elite politik yang suka bermain metafora. Namun jika direnungkan lebih dalam, kata-kata tersebut mengandung lapisan makna yang jauh melampaui candaan.

Di tengah iklim politik yang kian panas menjelang kontestasi Pemilu Serentak dan Pilpres untuk periode 2024-2029 lalu dan dilanjutkan masih memanasnya percaturan elite pasca pemilu, ucapan semacam ini menyiratkan kebijaksanaan yang jarang kita dengar dari tokoh politik dewasa ini. Pernyataan Bambang Pacul tidak hanya relevan, tetapi juga mencerminkan kompleksitas hubungan antara moralitas, persepsi publik, dan strategi politik.

Kebaikan Bukan Sekadar Simbol

"Jangan lawan orang baik," begitu pesan pertamanya. Dalam dunia politik, "orang baik" bukan hanya mereka yang rajin beribadah atau tidak terlibat kasus hukum, melainkan sosok yang konsisten memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan sosial, dan kepentingan rakyat secara tulus. Kebaikan semacam ini sulit dibungkus pencitraan. Ia tampak melalui ketekunan, konsistensi, dan sikap rendah hati dalam menghadapi kekuasaan.

Lawan dari "orang baik" bukanlah penjahat, tetapi mereka yang menyepelekan integritas. Maka, ketika seorang tokoh politik "melawan" figur yang oleh publik sudah dianggap baik, bersih, dan jujur, ia akan menghadapi kekuatan yang tak terlihat namun nyata: simpati publik. Itulah sebabnya Bambang Pacul memberi sinyal bahwa dalam dunia politik, membenturkan diri dengan kebaikan adalah strategi yang sia-sia---publik tidak mudah dibodohi oleh manipulasi narasi.

Kecantikan yang Bukan Fisik Semata

Poin kedua, "jangan lawan orang cantik," juga tidak bisa dibaca secara literal. Kata "cantik" di sini bukan melulu merujuk pada paras atau penampilan, melainkan pada persona yang menawan: tutur kata yang halus, empati yang kuat, dan pendekatan politik yang elegan. Dalam budaya Jawa, "ayu" atau cantik sering disandingkan dengan "luwes"---yakni keluwesan dalam bersikap dan beradaptasi, yang menjadikan seseorang disenangi banyak pihak.

Politikus yang "cantik" dalam arti ini mampu memelihara harmoni, menjembatani konflik, dan menghindari konfrontasi yang merusak. Ia cerdas memainkan peran, namun tetap menjaga jarak dari intrik yang kasar. Maka tak heran, melawan figur seperti ini sama saja dengan menantang arus lembut yang kuat: Anda tidak tampak kalah, tapi tetap akan terseret.

Politik Sebagai Ruang Etika

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun