Di sebuah sore yang biasa, seorang perempuan muda membuka aplikasi TikTok di ponselnya. Ia tertawa kecil melihat satu konten viral, lalu mengernyitkan dahi ketika membaca komentar:
"Yah, ini sih Pick Me Girl banget."
Ia bertanya-tanya, "Apa salahnya sih jadi diri sendiri? Aku cuma lebih nyaman nongkrong sama cowok. Masa harus dihakimi?"
Fenomena Pick Me Girl bukan sekadar istilah populer di media sosial. Ia adalah cerita tentang pencarian tempat, tentang keinginan untuk diterima, dan kadang---sayangnya---tentang bagaimana sebagian perempuan merasa harus tampil berbeda dari perempuan lainnya demi mendapatkan validasi, khususnya dari laki-laki.
Kalimat seperti, "Aku nggak kayak cewek lain," atau "Cewek tuh ribet, makanya aku lebih suka main sama cowok," jadi semacam mantra tak sadar. Sebuah cara untuk mengangkat diri sendiri---tanpa sadar---dengan menjatuhkan kelompok yang seharusnya jadi tempat berpijak bersama.
Di Balik Layar Media Sosial: Butuh Diakui, Tak Ingin Terlihat Biasa
Di dunia digital yang riuh, setiap orang seperti berebut panggung. Ada yang tampil berani, ada yang memilih jadi berbeda. Sayangnya, terkadang menjadi berbeda berarti harus menyudutkan yang lain.
Bagi sebagian perempuan, menjadi Pick Me Girl bukanlah soal ingin terlihat lebih baik, tapi karena ingin merasa cukup. Cukup unik untuk dilihat. Cukup menarik untuk diajak bicara. Cukup 'beda' untuk dipilih.
Namun celakanya, dalam proses itu, ia sering kali mengorbankan solidaritas---membangun diri di atas narasi bahwa perempuan lain itu manja, drama, atau ribet. Tanpa sadar, ia sedang menari di atas irama patriarki yang masih kuat menggema di ruang digital kita.
Antara Jujur dan Tersesat dalam Narasi Lama
Tentu, tidak semua perempuan yang tampil beda sedang menjadi Pick Me. Sebagian memang sedang jujur dengan dirinya sendiri. Tapi garis batas antara kejujuran dan kebutuhan akan validasi kadang begitu tipis, apalagi saat media sosial mengukur keberhargaan dengan jumlah likes dan komentar.