Setiap angka dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sesungguhnya adalah cerita tentang rakyat: tentang harapan, tentang kehidupan, dan tentang bagaimana negara hadir untuk menyejahterakan warganya. Tahun 2025, Pemerintah Indonesia menegaskan komitmen tersebut dengan mengalokasikan anggaran perlindungan sosial (perlindos) sebesar Rp503,2 triliun---sebuah angka yang mencerminkan keseriusan negara dalam menghadapi dua persoalan klasik bangsa: kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Komitmen ini bukan sekadar respons terhadap tantangan jangka pendek, melainkan bagian dari strategi jangka panjang untuk membangun masyarakat yang tangguh, adil, dan inklusif. APBN 2025 dirancang tidak hanya untuk menjaga stabilitas ekonomi makro, tetapi juga untuk memastikan kehadiran negara di tengah masyarakat yang paling rentan terhadap guncangan ekonomi dan sosial.
Menjawab Tantangan Kemiskinan Struktural
Pemerintah menargetkan penurunan tingkat kemiskinan nasional menjadi 7,0--8,0 persen pada tahun 2025. Ini bukan perkara mudah, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi global, perubahan iklim, serta disrupsi teknologi yang memperbesar kesenjangan digital. Namun, melalui kebijakan fiskal yang inklusif dan belanja negara yang tepat sasaran, target ini diyakini dapat dicapai secara bertahap dan berkelanjutan.
Program perlindungan sosial menjadi ujung tombak dari strategi tersebut. Dari bantuan langsung tunai (BLT), program keluarga harapan (PKH), kartu sembako, hingga bantuan iuran jaminan kesehatan, semuanya diarahkan untuk mengurangi beban hidup masyarakat miskin dan mendukung keberlanjutan konsumsi rumah tangga prasejahtera.
Namun lebih dari itu, pemerintah mulai menata ulang skema perlinsos agar lebih adaptif dan tidak sekadar bersifat kuratif. Model perlindungan sosial yang dikembangkan ke depan adalah perlindungan sosial adaptif, yang mampu merespons dengan cepat terhadap krisis, seperti bencana alam, pandemi, atau gejolak ekonomi global.
Perlinsos sebagai Investasi Pembangunan SDM
Perlindungan sosial bukan hanya jaring pengaman, tetapi juga investasi jangka panjang bagi pembangunan sumber daya manusia (SDM). Negara sadar bahwa kemiskinan tidak akan bisa ditumpas hanya dengan pemberian bantuan, tetapi juga harus dibarengi dengan peningkatan kapasitas dan daya saing individu.
Dalam konteks ini, berbagai program perlinsos diarahkan untuk memperkuat akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan dasar, serta peluang ekonomi. Beasiswa bagi anak-anak dari keluarga kurang mampu, pelatihan kerja melalui Kartu Prakerja, serta subsidi produktif bagi UMKM adalah contoh konkret bagaimana perlinsos difungsikan sebagai katalis transformasi sosial.
Pendekatan ini sekaligus menjadi antitesis dari anggapan bahwa bantuan sosial akan melahirkan ketergantungan. Justru sebaliknya, bantuan yang tepat sasaran dan terintegrasi dengan pembangunan kapasitas akan mendorong masyarakat untuk mandiri dan keluar dari jebakan kemiskinan antargenerasi.