Peran Media, Pemerintah, dan Edukasi
Masalah ini bisa menjadi bahan refleksi bagi lembaga pemerintah maupun media massa. Edukasi publik tentang teknologi, bahkan dalam aspek terkecil seperti pelafalan, adalah bagian dari tanggung jawab komunikasi institusional.
Kampanye Bank Indonesia selama ini sudah cukup masif soal manfaat QRIS. Namun belum cukup menyentuh aspek sosial-budaya yang melekat pada penggunaan sehari-hari. Padahal, keberhasilan sebuah teknologi tidak hanya diukur dari jumlah pengguna, tetapi juga dari seberapa dalam teknologi tersebut dipahami dan diterima secara kultural.
Media juga bisa berperan sebagai agen pelurus informasi. Dalam penulisan maupun penyiaran, media dapat membantu menstandarkan pelafalan yang benar. Sebab, dalam jangka panjang, hal-hal kecil seperti ini memengaruhi keseragaman pemahaman masyarakat.
Kapan Kita Sepakat?
QRIS mungkin bukan satu-satunya istilah teknologi yang mengalami kebingungan pelafalan. Namun, ia adalah yang paling populer di Indonesia saat ini. Karena itu, kesepakatan tentang cara membacanya bukan sekadar soal fonetik, tetapi tentang bagaimana kita membangun budaya digital yang inklusif, jelas, dan berakar pada bahasa sendiri.
Jadi, QRIS dibaca "kris" atau "kyuris"? Bila mengikuti acuan resmi Bank Indonesia, seharusnya "kris". Tapi selama belum ada kampanye publik yang kuat dan masif, perdebatan ini akan terus hidup di antara meja kasir dan layar gawai kita.
Satu hal yang pasti, QRIS telah hadir sebagai simbol transformasi digital Indonesia. Kini saatnya menyempurnakan bukan hanya teknologinya, tetapi juga narasi dan pemahaman publik tentangnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI