Di panggung global, China dikenal sebagai kekuatan yang terus menanjak—dari dominasi manufaktur, eksplorasi luar angkasa, hingga pengaruh geopolitik yang menggetarkan barat. Namun, di lapangan hijau, negeri dengan perkiraan populasi lebih dari 1,4 miliar jiwa itu kembali menunjukkan ironi: gagal lolos ke Piala Dunia FIFA 2026.
Kabar kegagalan ini bukan sekadar catatan statistik. Ini adalah cermin dari kontradiksi mendalam antara ambisi adidaya dan kenyataan performa di lapangan. Dunia bertanya-tanya: bagaimana mungkin negara sekuat China, dengan infrastruktur megah dan anggaran sepak bola yang miliaran dolar, justru tertatih-tatih menghadapi tim-tim dari Asia Tenggara dan Asia Tengah?
Uang Bukan Segalanya
Selama lebih dari dua dekade, China telah mengucurkan investasi besar-besaran dalam sepak bola. Klub-klub Liga Super Tiongkok sempat mengguncang pasar transfer dunia. Nama-nama besar seperti Oscar, Hulk, Alex Teixeira, Paulinho, Jackson Martinez, Axel Witsel, Demba Ba dan bahkan Carlos Tevez pernah berseragam klub China dengan gaji selangit. Presiden Xi Jinping bahkan menjadikan sepak bola sebagai bagian dari agenda nasional, memimpikan negaranya menjadi “raksasa sepak bola dunia” pada 2050.
Namun, realitas di lapangan berbicara lain. Tim nasional China, yang hanya pernah tampil di Piala Dunia 2002 dan gagal mencetak satu gol pun, terus terseok-seok. Di babak kualifikasi zona Asia untuk Piala Dunia 2026, China masuk di Grup C bersama Jepang, Australia, Arab Saudi, Indonesia, dan Bahrain mereka gagal bersaing bahkan dengan tim-tim yang secara infrastruktur jauh lebih kecil seperti Indonesia. Upaya membeli kejayaan ternyata tidak otomatis menghasilkan kekuatan yang berkelanjutan.
Akar Masalah di Fondasi
Masalah utama sepak bola China bukan pada kurangnya uang, melainkan kurangnya sistem yang sehat. Pengembangan pemain muda belum matang, sistem liga yang tidak kompetitif, dan minimnya budaya sepak bola sejak usia dini menjadi tantangan besar.
Meski akademi sepak bola tumbuh bak jamur di musim hujan, banyak di antaranya hanya berorientasi pada bisnis dan prestise, bukan pengembangan bakat. Anak-anak diarahkan menjadi bintang sejak dini, tetapi dengan metode yang kurang tepat. Selain itu, terlalu banyak campur tangan politik dan ekspektasi instan telah mengganggu konsistensi dan fokus jangka panjang.
Tidak kalah penting, sepak bola bukan hanya persoalan teknik, tetapi juga mentalitas. Tekanan luar biasa yang diletakkan pada pundak para pemain timnas—diposisikan sebagai simbol kebangkitan nasional—membuat mereka tampil kaku, takut gagal, dan kehilangan naluri bermain.
Kontras dengan Negara Asia Lainnya