"Sejarah itu bagian dari masa lalu kita. Kalau ingin tahu hari ini, lihatlah masa lalu," pungkas Fadli. Sebuah kalimat sederhana, namun mengandung pesan mendalam. Saatnya bangsa ini menatap masa lalu dengan bangga, bukan dengan nestapa.
Narasi ini membawa kita pada sebuah refleksi mendalam. Betapa pentingnya keberanian untuk mengkoreksi sejarah yang selama ini dianggap mapan. Betapa berbahayanya jika narasi keliru dibiarkan terus hidup, membentuk generasi yang tak mengenal jatidirinya. Sejarah harus terus diperbarui, bukan untuk mengkhianati masa lalu, tetapi untuk mendekati kebenaran.
Penulisan ulang sejarah ini juga menjadi ajakan bagi publik untuk lebih peduli pada warisan sejarah. Agar tidak menyerahkan sepenuhnya pada pemerintah atau akademisi, tetapi turut mengawal agar proses ini transparan, jujur, dan berimbang. Karena sejarah adalah milik semua, bukan monopoli segelintir elit.
Pada akhirnya, bangsa ini butuh narasi yang membangkitkan, bukan melemahkan. Narasi yang menginspirasi generasi muda untuk bangga menjadi bagian dari bangsa yang tak pernah menyerah. Jika 350 tahun yang kita warisi selama ini adalah narasi kelam, maka 350 tahun baru yang ditulis ulang ini adalah narasi terang. Narasi perlawanan, narasi keberanian, narasi harapan.
Mari kita sambut penulisan ulang sejarah ini dengan optimisme, sekaligus kewaspadaan. Karena seperti kata George Santayana, "Mereka yang tidak belajar dari sejarah, ditakdirkan untuk mengulanginya." Kita tidak ingin terjebak dalam mitos masa lalu. Kita ingin melangkah ke depan, dengan sejarah yang lebih jujur, adil, dan membanggakan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI