Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Wayang Orang Bharata: “Kripik Gedang Kripik Telo, Sitik Edang Podho Roto”

11 Oktober 2016   13:02 Diperbarui: 11 Oktober 2016   13:13 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lakon sebisa mungkin dikemas dalam durasi waktu 3-3,5 jam. Atau dimulai dari pukul 20.30 hingga 12.00. Tapi lakon menjadi lebih singkat, atau 2,5 jam, ketika dibawa keluar dari gedung WO Bharata. Karena, biasanya pertunjukan yang mereka gelar di Taman Ismail Marzuki (TIM), Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) misalnya, stamina penonton berada di titik ideal selama 2,5 jam.

Hasilnya memang berdampak atas kunjungan penonton di setiap lakon yang mereka digelar pada setiap Sabtu. Paling buruk 70-80 persen tempat duduk yang berjumlah 250 senantiasa terisi di gedung WO Bharata. Kalau hari sedang baik, dan tidak sedang hujan, bahkan kursi terisi semua. Dengan tiiket dijual pada kelas VIP seharga Rp.60 ribu, Klas I Rp. 50 ribu dan balkon Rp.40 ribu, mereka bisa mendapatkan pemasukan 10-11 juta sekali main. Meski biaya produksi setiap lakon, bisa mencapai angka Rp.7 juta sampai Rp. 8 juta, dengan pendukung lakon sebanyak 130 an orang.

130 orang itu meliputi pemain, pengrawit, bagian dekor, kebersihan dan semua lini pendukung lainnya,”Dan ke-130 orang itu mendapatkan sangu ganti wedang,” ujar Yunus. Maksudnya, sebagai jasa pengganti jerih payah mereka, di posisi masing-masing. Misalnya, bintang utama lakon mendapatkan Rp. 50 ribu, pemain tamu justru mendapatkan Rp. 150 ribu, karena biasanya mereka datang dari jauh. Sedangkan pemain remaja mendapatkan Rp. 25 ribu.

Atau jika sedang beruntung ada orang berkelimpahan rejeki menumpahkan rupiah dalam jumlah tertentu di pementasan mereka, seketika juga akan mereka bagi rata dan adil,”Kripik Gedang Kripik Telo, sitik edang podho roto,” ujar Yunus berkelakar.

Lalu bagaimana prospek ke depan WO Bharata? Dengan kondisi sekarang, apakah makin mengilap atau justru buram? “Makin bagus kalau menurut saya,” katanya. Meski tentu saja, dia menyelipkan kalimat, tetap ada sedikit kekurangan. Karena, pemerintah menurut Yunus, masih setengah hati untuk memberikan dukungan di bidang kebudayaan,”Tidak 100 persen,” ujarnya.

Apalagi jika dibandingkan dengan perhatian pemeritah kepada bidang yang lain seperti olahraga, dan pariwisata, yang menurut dia,”Habis-habisan”. Untuk dana bantuan wayang, menurut dia, hanya mendapatkan 150 juta setahun,”Padahal wayang orang kan aset nasional,” ungkapnya. Dan peminatnya masih banyak. Bahkan di Jakarta, saat ini, bertumbuh beberapa sanggar Wayang Orang, seperti Sekar Budaya Nusantara, Setia Budaya Indonesia (SBI), Puspo Budoyo, Swargaloka, Kuntinalibrata dan beberapa nama lainnya. Ikatan yang baik diantara kelompok WO di Jakarta itulah, yang menjadi salah satu penyokong keberlangsungan hidup para pendukung WO itu sendiri.

Oleh karenanya, dalam setiap pentas WO Bharata senantiasa melahirkan para bintang panggung. Siapakah pemain bintang yang paling moncer di WO Bharata? Tak lain dan tak bukan adalah nama Kis Slamet (72). Sebagai penari senior, sudah tidak terhitung lagi sudah berapa ratus kali dia menari di atas panggung pertunjukan.

Jejak rekamnya panjang dan sangat dalam. Pada sebuah masa, dia pernah menjadi penari istana di zaman Bung Karno. Selain itu, dia adalah pemain watak untuk layar lebar sezaman dengan WD Mochtar dan Dicky Zulkarnaen. Selain tentu saja ada beberapa nama lainnya seperti Aris Mukti (65), Marsan (63), Heru Sutanto (61), Heru Mudji (55) yang biasanya berlakon sebagai sosok ibu atau Srikandi. Serta beberapa nama lainnya seperti Ibu Surip yang kemunculannya senantiasa ditunggu di setiap adegan goro-goro, hingga yang paling junior bernama Krisna (15).

Sederhananya, setiap pemain pasti mempunyai pencintanya sendiri, dan setiap penonton mempunyai bintangnya sendiri. Dan hubungan antara pemain dan penonton sangat saling menghormati. Tidak murahan sebagaimana dunia selebritas yang dangkal.

Dengan perjalanan panjang WO Bharata, bagaimana Yunus melihat keadaan WO Bharata saat ini? Menurut dia, sudah mampu eksis saja WO Bharata sudah alhamdulilah. Oleh karenanya, pihaknya bahkan telah menghadap Gubernur Jokowi untuk meminta dukungan langsung, untuk meminta hari pentas yang ditambah menjadi dua atau tiga hari dalam seminggu. Sebab saat ini, WO hanya pentas sehari dalam seminggu. Dibandingkan dengan era sebelum reformasi, WO Bharata bahkan bisa pentas saban hari dalam seminggu.

Sebagaimana yang dilakukan teater Kabuki di Jepang, yang pentas saban hari, dengan ada atau tidak ada penontonnya sekalipun. Karena urusan penonton, cerita Yunus, masa itu telah menjadi urusan Dinas Pariwisata sekaligus kegiatan kepromosiannya,”Kita hanya pentas, urusan penonton digarap teman-teman dari perhotelan di Jakarta,” katanya. Ya, dengan menyediakan informasi di setiap hotel di Jakarta yang tingkat huniannya baik, dan diarahkan untuk menonton WO Bharata, adalah salah satu cara dari sekian cara yang dapat mempertahankankeberlangsungan kelompok itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun