Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Petani, pemburu, dan peramu

Marhaenism - IKA GMNI. Memento politicam etiam artem complexam aequilibrii inter ideales et studia esse. Abangan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kapitalisme Predatorik: Menyoal Kedaulatan Pangan dalam Putusan Tom Lembong

25 Juli 2025   07:30 Diperbarui: 25 Juli 2025   20:01 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
The 5th (Chrome) Horseman of the Appoc, 2020, Ed Bereal

Menjawab cemooh publik terhadap intepretasi hakim perihal "menguntungkan kapitalisme"

Kapitalisme Predatorik, Petani Tebu, dan Hukum yang (Belum) Berpihak

Pada 2016, petani tebu dalam Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mengirim surat terbuka kepada empat menteri di kabinet Presiden Joko Widodo, memprotes rencana impor gula oleh BUMN. Saat musim giling tebu—periode krusial untuk pendapatan petani—banjir impor gula kristal putih (700.000 ton) dan gula kristal mentah (300.000 ton) menyebabkan harga gula lokal anjlok di bawah biaya produksi. Petani kecil kehilangan daya saing dan pemasukan, sementara keuntungan besar justru mengalir ke segelintir elit pelaku impor. Ini bukan sekadar kesalahan momentum kebijakan, melainkan gejala ketimpangan struktural yang telah berlangsung lama dalam tata niaga pangan nasional.

Persoalan ini memuncak di ruang pengadilan. Pada 18 Juli 2025, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta memvonis mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp750 juta. Ia terbukti menerbitkan izin impor gula kristal mentah (GKM) 2015—2016 tanpa koordinasi antarkementerian, melanggar prinsip koordinasi dalam pengelolaan komoditas strategis sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No. 7/2014 tentang Perdagangan, menyebabkan kerugian negara Rp194,72 miliar, dan menguntungkan korporasi tertentu. Majelis hakim menyebut tindakan ini menyimpang dari demokrasi ekonomi berbasis Pancasila, yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan rakyat. 

Namun, apakah vonis ini hanya menjawab persoalan administratif, ataukah menyentuh akar dari persoalan yang lebih dalam yakni sistem ekonomi yang membiarkan segelintir aktor memperkaya diri atas nama kebijakan publik? 

Artikel ini mengajukan tesis bahwa kasus ini bukan sekadar pelanggaran administratif, melainkan cerminan dari kapitalisme predatorik. Oleh karena itu, penegakan hukum-ekonomi harus melampaui pendekatan formalistik, mengintegrasikan nilai Marhaenisme—keadilan sosial bagi rakyat kecil—untuk melawan ketimpangan struktural dalam kebijakan pangan dan perdagangan strategis.

* Untuk melihat ringkasan putusan hukum PN Tipikor terhadap kasus Tom Lembong, klik kalimat ini.

Kapitalisme Legal vs. Predatorik: Antara Aturan dan Ketimpangan

Bayangkan pasar sebagai permainan catur: dalam kapitalisme legal, petani, pedagang, dan korporasi bermain dengan aturan setara, dengan negara sebagai wasit netral. Dalam kapitalisme predatorik, elit ekonomi mendapat keunggulan—aturan ada, tetapi bisa disiasati, memastikan mereka menang bahkan sebelum permainan dimulai. 

Kapitalisme legal berpijak pada hukum transparan, seperti UU No. 7/2014 tentang Perdagangan. Pasal 27 menuntut koordinasi antarinstansi agar gula tak membanjiri pasar saat petani berjuang, sementara Pasal 25 menekankan kepentingan nasional, termasuk perlindungan petani dan stabilitas harga. Namun, "kepentingan nasional" sering dimaknai sempit sebagai stabilitas korporasi besar, bukan kesejahteraan petani atau kedaulatan pangan.

Kapitalisme predatorik memanfaatkan celah kelembagaan—lemahnya koordinasi atau pengawasan hukum—untuk memperkuat dominasi aktor besar. Kasus impor gula 2015--2016 yang menjerat Thomas Trikasih Lembong mencerminkan fenomena ini. Putusan Pengadilan Tipikor Jakarta pada 18 Juli 2025 menyatakan Lembong melanggar Pasal 27 UU No. 7/2014 dengan menerbitkan izin impor gula kristal mentah (GKM) tanpa koordinasi antarkementerian. Kebijakan ini, di tengah surplus gula nasional, memungkinkan korporasi tertentu meraup keuntungan, menyebabkan kerugian negara Rp194,72 miliar. Ini mencerminkan kolusi sistemik: izin impor disiasati untuk mengakumulasi modal, bukan memenuhi kebutuhan pasar, ciri khas kapitalisme predatorik.

Meski tidak memuat asas kapitalisme secara eksplisit, UU No. 7/2014 merefleksikan logika pasar terbuka yang terkendali, menekankan kesetaraan formal antar pelaku usaha tanpa mendorong redistribusi atau perlindungan substantif bagi petani kecil. Celah kelembagaan, seperti absennya koordinasi efektif, membuka ruang kolusi antara pejabat dan korporasi, mengubah kapitalisme legal menjadi predatorik. Pelanggaran Pasal 27 dalam kasus ini menunjukkan keruntuhan prinsip persaingan sehat yang dijanjikan undang-undang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun