Beberapa negara ASEAN bergerak dalam koridor yang sama namun dengan variasi pendekatan: Filipina baru saja memberlakukan VAT atas layanan digital lintas batas per Juli 2025, dengan kewajiban registrasi bagi penyedia asing dan pemotongan pajak 12 persen oleh pengguna domestik. Malaysia sudah lebih dahulu mengenakan WHT (withholding tax) untuk transaksi e-commerce sejak 2019, menjadikannya pionir regional dalam menegakkan kedaulatan fiskal digital. Vietnam mengatur pajak retensi bagi penyedia asing melalui skema WHT variabel, sedangkan Thailand masih dalam tahap konsultasi kebijakan DST 5 persen. Indonesia sendiri memilih jalan moderat dengan digital PE, bukan DST langsung. Artinya, penentuan hak pajak tergantung pada "kehadiran ekonomi signifikan" di pasar domestik. Model ini dinilai lebih konsisten dengan upaya OECD dalam skema BEPS Pillar One dan Pillar Two, yang bertujuan membagi hak pemajakan secara adil antarnegara tempat nilai ekonomi diciptakan.
Kenya dan Nigeria, dua negara Afrika, menjadi contoh negara berkembang yang mengenakan Significant Economic Presence (SEP) dengan tarif efektif 6--30 persen atas laba digital non-residen.
3. OECD dan Tekanan Multilateral
OECD melalui inisiatif Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) mencoba menciptakan konsensus global melalui Pillar One (alokasi laba lintas yurisdiksi) dan Pillar Two (pajak minimum global 15%). Namun, banyak negara---terutama berkembang---menganggap implementasinya lambat dan terlalu menguntungkan korporasi multinasional. Karenanya, beberapa negara seperti Kanada tetap melangkah sendiri. Kanada menetapkan DST 3 persen sejak Juni 2024, dan bahkan menambahkan "streaming tax" 5 persen untuk mendukung industri penyiaran lokal. Langkah ini memicu sengketa dengan Amerika Serikat, yang menilai kebijakan tersebut diskriminatif terhadap perusahaan teknologi asal AS.
4. Perbandingan Model dan Dampaknya
Negara
Jenis Pajak
Tarif
Basis Pajak
Status 2025
Prancis