Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Isu Keamanan Regional di Kawasan Laut China Selatan

23 Desember 2016   18:51 Diperbarui: 23 Desember 2016   18:57 640
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: https://www.hobbymiliter.com

Konflik Laut China Selatan merupakan isu keamanan regional yang hingga kini masih belum mencapai titik penyelesaian, serta rawan mengganggu stabilitas kawasan di masa yang akan datang.  Laut China Selatan merupakan sarana utama berbagai kepentingan strategis bertemu, memiliki peran yang sangat penting tidak hanya dari segi politik dan keamanan, namun juga dari segi ekonomi. Dalam perspektif politik dan keamanan, Laut China Selatan menjadi wilayah yang tak terpisah dari batas-batas kedaulatan negara di sekitarnya.  Klaim wilayah karena kaitannya dengan posisi dan keberadaan sumber daya alam berpotensi memicu konflik antar negara.  Dalam kawasan Laut Cina Selatan ini ada negara-negara:  China (Republik Rakyat China –RRC), Vietnam, Filipina, Taiwan, Malaysia, dan Brunei Darussalam.

Laut China Selatan merupakan wilayah perairan yang luas, bagian dari Samudera Pasifik, meliputi sebagian wilayah dari Singapura dan Selat Malaka hingga ke Selat Taiwan dengan luas sekitar 3.5 juta km².  Laut China Selatan merupakan kawasan yang memiliki nilai strategis, ekonomis, dan politis. Secara geografis Laut China Selatan terbentang dari arah Barat Daya ke Timur Laut, yang batas Selatannya 3°LS, antara Sumatera Selatan dan Kalimantan (Selat Karimata) dan batas utaranya ialah Selat Taiwan dari ujung utara Taiwan ke pesisir di Fujian di China daratan.

Selain sebagai jalur perdagangan dan pelayaran internasional serta jalur distribusi minyak, kawasan ini juga memiliki kandungan kekayaan alam yang sangat besar.  Letaknya berada di jalur perlintasan kapal-kapal internasional yang melewati Selat Malaka, salah satu laut yang paling sibuk di dunia, dan merupakan jalur penghubung perniagaan dari Eropa ke Asia dan Amerika ke Asia dan sebaliknya, melalui wilayah perairan Negara-negara paling sedikit di 3 kawasan penting, yakni Asia Tenggara, Asia Timur dan Asia-Pasifik, maka, selain negara pengklaim itu, negara-negara yang terletak di sekitar Laut China Selatan tersebut, seperti Indonesia dan Singapura, bahkan Amerika Serikat (AS), berkepentingan setiap saat atas terjaganya stabilitas dan keamanan di Laut China Selatan.

Konflik antara pemerintah Indonesia dan China di kepulauan Natuna bermula ketika China secara sepihak pada 2009 menggambar sembilan titik ditarik dari Pulau Spratly di tengah Laut China Selatan, lalu diklaim sebagai wilayah Zona Ekonomi Eksklusifnya.  Presiden Jokowi telah menegaskan sikapnya terhadap Natuna. “Sembilan titik garis yang selama ini diklaim Tiongkok dan menandakan perbatasan maritimnya tidak memiliki dasar hukum internasional apapun,” ujarnya saat diwawancarai Koran Yomiuri Shimbun.

Hal yang paling penting dalam isu konflik di kepulauan Natuna ini adalah potensi ancaman bagi pemerintah Indonesia atas klaim pemilikan China terhadap kepulauan Natuna tersebut, karena isu tersebut menyangkut kedaulatan dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).  Kebijakan membangun dan memperkuat pangkalan militer di kepulauan Natuna merupakan langkah konkrit Pemerintahan Jokowi-JK untuk mengantisipasi ancaman yang datang dari konflik laut cina selatan.  

China saat ini merupakan salah satu negara dari tiga negara yang memiliki kekuatan militer terkuat di dunia, selain Amerika Serikat dan Rusia.  Kemampuan dan pengalaman militer China dalam berbagai medan pertempuran memberikan pengaruh kepercayaan diri dan peluang keberhasilan yang cukup besar bagi China apabila terjadi konfrontasi dengan militer Indonesia dalam upaya merebut wilayah kepulauan Natuna. Kekuatan pertahanan Indonesia pada 2014- 2019 hanya mampu menanggulangi seperlima dari kekuatan China pada tahun yang sama. Hal ini berarti Indonesia perlu mewaspadai apabila China sampai menggelar kekuatannya mendekati 20%  di sekitar kawasan Indonesia (Badan Intelijen Negara, 2014).  

Bila terjadi perang terbuka antara Indonesia dan China di perairan Natuna, jelas akan mengundang keterlibatan negara-negara lain yang letaknya berdekatan dengan perairan Natuna, seperti:  Malaysia, Singapur, Brunai Darussalam,  dan hal pasti juga akan melibatkan Amerika Serikat. Bisa jadi perang besar akan meletus atau mungkin berawal di perairan Natuna. 

Namun hal yang pasti bagi China bahwa bukanlah suatu hal yang mudah untuk merebut Natuna.  Mengantisipasi segala kemungkinan yang terburuk di tahun-tahun mendatang, hal yang terbaik adalah menyelesaikan masalah ini di meja perundingan atau di pengadilan internasional.  Kalaupun harus terjadi perang di perairan Natuna, semboyan “Jalasveva Jayamahe” yang berarti “Di Laut Kita Berjaya” bukanlah adigium kosong bagi TNI Angkatan Laut.

Secara umum, bila terjadi konflik terbuka di Laut Cina Selatan antara China dengan Vietnam atau antar negara-negara lainnya dapat mempengaruhi stabilitas keamanan nasional Indonesia, dan pemerintah Indonesia harus menyikapinya secara bijak, tetap memelihara kerjasama bilateral maupun multilateral dalam ikut serta menciptakan perdamaian  di kawasan Laut China Selatan.

*****


Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun