Mohon tunggu...
Beni Guntarman
Beni Guntarman Mohon Tunggu... Swasta -

Sekedar belajar membuka mata, hati, dan pikiran tentang apa yang terjadi di sekitar.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenal Keajaiban Haiku

11 Oktober 2016   19:50 Diperbarui: 11 Oktober 2016   20:33 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: http://alchetron.com/

Haiku adalah potret pengalaman penyair dalam sepenggal ruang dan waktu. Suatu pengalaman itu menjadi sebuah “moment haiku” ketika ia ditangkap oleh penyair pada objek yang memiliki bentuk, warna, dan kualitas. Penyair menangkapnya dengan sensor panca indranya, melihatnya secara objektif tanpa tercemari oleh pemikiran-pemikiran yang tidak relevan dengan estetika puitik. 

Memproses pengalaman itu di dalam dirinya, kualitas si penyair dan intuisinya pada akhirnya mengambil peran penting dalam melahirkan haiku yang berbobot, sarat dengan makna dan perenungan. Haiku tidak mengeksprisikan ide tapi mengedepankan gambar yang mencerminkan intuisi.

Lewat ayat-ayat haiku, jiwa penyair ditangkap dalam waktu. Waktu per waktu seorang haijin bertemu dengan moment haikunya. Olah rasa, olah jiwa, dan perenungan dilakukan tetap dalam aktifitas keseharian. Moment haiku ada di mana-mana, selalu muncul secara tak terduga kapan dan di mana saja, terjadinya dalam sepenggal ruang dan waktu: “sekarang, saat ini, di sini”.

Ada tiga esensi haiku: Pola tuang Lima Tujuh Lima suku kata (5-7-5), Penanda Musim (Kigo), dan Kalimat Pemotong (Kireji).  Ekspresi lewat haiku yang hanya menyediakan ruang sebesar 17 silabel membatasi penyair untuk tidak bermain-main dengan kata-kata yang bersifat ambigu, apa lagi kata-kata yang mubazir hanya menghabiskan ruang 5-7-5. Menggunakan simbol-simbol waktu (musim) sangat diperlukan, tentunya simbol-simbol yang umum diketahui dan dapat dipahami oleh para pembaca haiku secara umum. Terkait dengan hal ini, diksi dalam haiku dipahami sebagai pilihan kata-kata untuk memperjernih penyampaian gambar yang mengandung maksud dan pesan si penyair.

Haiku harus memiliki kigo dan kireji. Kigo adalah segala sesuatu yang digunakan oleh penyair untuk menyampaikan isyarat waktu saat terjadinya moment haiku yang dialaminya. 

Objek kigo tidak melulu tentang alam, flora, atau fauna. Lebih dari itu, kigo juga bisa merupakan ungkapan sederhana tentang aktivitas manusia (tradisi) dalam setitik waktu di mana si penyair berada di dalamnya, berada dalam tradisi yang terkait dengan perayaan nasional, pesta adat, festival, atau acara keagamaan yang sifatnya “diselenggarakan setahun sekali”.

Kita hidup di dunia fana, dunia yang dibatasi oleh waktu. Di dalam kehidupan fana ini ada kilas-kilas cahaya kebenaran hakiki, ada tanda-tanda atau ayat-ayat yang tersirat. Dalam merenungkan sebuah moment haiku, penyair dan objek yang dilihatnya menjadi satu, dan saat itulah penyair melihat kilas-kilas cahaya itu. Melalui haiku yang ditulisnya maka penyair menyampaikan kepada pembaca tentang pengalamannya itu. 

Kireji dalam hal ini dipahami sebagai “kalimat pemotong” yang menghadirkan jeda nafas (sesaat) sebelum atau sesudah menyampaikan “isi” atau kalimat yang sifatnya menekankan atau menyimpulkan bagi pembaca tentang rasa dan makna dari pengalaman sesaat yang ditemui oleh si penyair. Kireji tidak boleh lepas dari objek yang dilihat, tidak lari terlalu jauh dari makna keterkaitan objek dengan waktu terjadinya moment haiku.

Menjelaskan esensi haiku, kireji adalah yang paling rumit . Namun kireji adalah salah satu “keajaiban” haiku. Tidak ada terjemah atau padan kata yang tepat untuk kata “Kireji” ke dalam bahasa di luar bahasa Jepang. Hal yang paling mendekati untuk menjelaskan apa itu pengertian “Kireji” digambarkan dengan cara sebagai berikut: baca haiku yang anda tulis dengan keras (menarik nafas) hingga terjadi jeda alami, lalu lepaskan nafas dan lanjutkan membaca hingga selesai. Kalimat lanjutan yang anda baca setelah jeda (biasanya berjumlah 5 suku kata), itulah yang biasa dimaksud sebagai “kalimat pemotong (kireji)”.

Haiku terdiri dari 3 baris, hanya ada satu kireji dan satu kigo dalam sebait haiku. Kireji sering tersirat di baris pertama atau di baris ketiga. Kireji membuat haiku menjadi sempurna, tidak datar, dan yang lebih penting lagi bahwa karena ada kireji maka haiku dikatakan sebuah puisi pendek, bukan sebuah prosa singkat!

Haiku harus dibagi menjadi dua bagian. Perlu ada jeda sintaksis yang membaginya menjadi dua bagian. Kireji membuat haiku terbelah menjadi dua bagian yakni: bagian yang terpendeknya (5 suku kata) disebut fragment (kireji) dan yang sisanya (12 suku kata) disebut frase. Antara frase dan fragmen dihubungkan oleh MA , ruang kosong yang tercipta karena adanya jeda. 

Kireji harus ada untuk menghadirkan MA atau filosofi hidup yang berkesadaran waktu, merupakan ruh dari watak alam yang selalu berubah. MA membuat jeda sesaat itu penuh arti, tidak betul-betul kosong , justru pada titik ini pembaca diajak terlibat, dan nilai-nilai filosofi SABI dan WABI yang bekerja di alam bawah sadar penyair mewarnai keterhubungannya dengan para pembaca.

Ketika kireji ditempatkan di baris ketiga maka ia kadang bersifat menyimpulkan, memotong alur cerita, menjadi sebuah klimaks haiku, seolah-olah “isi” atau substansi dari haiku; pada dasarnya menghadirkan sebuah kalimat penutup yang bersifat “menyempurnakan” keseluruhan isi haiku. Kireji pada posisi ini (di baris ketiga) menarik pembaca kembali ke awal, sehingga kalimat-kalimat haiku baris per baris membentuk pola melingkar. Pastikan penjajaran baris pertama dan kedua tidak terlalu dekat dan juga tidak terlalu jauh untuk menjaga MA (ruang kosong yang tercipta saat jeda nafas) dalam porsi yang tepat.

Ketika kireji ditempatkan di baris pertama maka ia juga bersifat memotong alur cerita dan bersifat memberikan penekanan, dua baris berikutnya yang muncul bersifat menjelaskan baris pertama. Kireji dalam posisi ini sering berhasil menarik pembaca untuk masuk lebih jauh, seolah-olah mereka berkata “apa selanjutnya?”

Sering dianjurkan bahwa untuk kireji di baris pertama penyair memulainya dengan “kesan apa yang masih ada di hatinya”, lalu selanjutnya menjelaskan kenapa hal itu membuatnya begitu terkesan. Haiku terkenal dari Basho ini bisa menjadi contoh bagaimana membuat kireji di baris pertama:

Furuike ya
kawazu tobikomu
mizu no oto

 - Basho

( Di kolam tua

  Katak-katak melompat

  Suara air)

Dalam haiku di atas Basho menekan lebih awal pada kata “Di kolam tua”.  Dalam beberapa penjelasan Basho mengatakan yang dimaksunya dengan “Kolam Tua” adalah kolam yang tak terurus, dipenuhi oleh rumput, dan dihuni oleh katak.  Estetika Sabi sepertinya yang hendak ditekankan oleh Basho dalam haiku ini.  Pada dasarnya “sabi” berarti:  keindahan yang kaya dan beragam, perubahan yang ditemukan dari sesuatu yang menjadi retak, kotor, cacat, atau dari sesuatu yang berubah karena berlalunya waktu.

*****

Referensi bacaan: Disarikan dari berbagai literature

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun